Dunia
mahasiswa sangat lekat dengan dunia pergerakan. Selayaknya julukan tenar yang
dimiliki oleh mahasiswa yakni agent of
change, kita tentunya juga tahu bahwa perubahan, change, tidak akan dapat tercapai tanpa melalui sebuah pergerakan. Meski
banyak yang beranggapan bahwa dunia pergerakan
mahasiswa telah banyak mengalami kemunduran, namun salah rasanya bila membiarkan hal itu terus terjadi hingga akhirnya menghilang.
mahasiswa telah banyak mengalami kemunduran, namun salah rasanya bila membiarkan hal itu terus terjadi hingga akhirnya menghilang.
Berbicara
tentang dunia pergerakan memang secara otomatis pula berbicara praktik. Namun
sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang kawan yang saya kenal, bahwa
praktik tanpa berlandasakan teori tak ubahnya seperti kambing yang mengembik.
Berdasarkan hal itulah, maka di sore hari yang mendung pada Kamis (08/03) lalu,
keredaksian Media mensponsori dilaksanakannya Eef Media Discoure yang bertema Gerakan Transformatif.
Untuk
edisi perdana kali ini, Eef sebagai pemandu diskusi menghadirkan Ramli sebagai
pembicaranya. Obrolan ini dibuka dengan mempertanyakan urgensi apa sebenarnya
yang mendasari kebutuhan kita akan gerakan transformatif ini.
Bang
Ramli, demikian ia biasa disapa, menyatakan secara tegas di awal pembicaraannya
bahwa ada kebutuhan yang sangat mendesak bagi kita untuk melakukan gerakan
transformatif ini. Gerakan transformatif pada hakikatnya merupakan sebuah
antitesa dari gerakan revolusi yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Sementara
revolusi telah gagal di banyak negara maka pilihan paling rasional dengan
kondisi kita saat ini adalah melakukan gerakan transformatif.
Untuk
membawa pikiran kita ke arah pembacaan konteks saat ini, diperlukan pengetahuan
akan tiga teori sentral, yakni teori political
economy, teori structuralism, dan
teori hegemoni. Ketiga teori inilah yang nantinya akan membawa pada pengenalan
terkait gerakan transformatif yang telah disebutkan sebelumnya.
Bang
Ramli memulai dengan teori political
economy yang disampaikan oleh Karl Marx. Dalam teori tersebut, masyarakat
dibagi dalam dua jenis kelas yakni ruling
class (kelas penguasa) dan working
class (kelas pekerja). Dalam hal ini, kelas pekerja merupakan subordinat
dari kelas penguasa yang hanya bisa menerima saja apa-apa yang dikatakan oleh ruling class. Sementara working class tak punya akses terhadap
modal produksi dan hanya bisa menerima saja, maka jadilah working class terus-menerus menjadi pihak yang tertindas sementara ruling class menjadi pihak yang
berkuasa.
Teori
yang kedua adalah teori structuralism
yang dikemukakan oleh Louis Althusser. Dalam teori ini dikenal penyebutan
istilah state atau negara yang
sebelumnya tak pernah disinggung oleh Karl Marx. Negara dianggap menjadi
instrument ruling class untuk menindas working class. Dalam mencapai tujuan
tersebut, maka negara haruslah menguasai apa yang disebut sebagai apparatus state. Apparatus state ini sendiri terdiri atas repressif apparatus seperti polisi, tentara, dan lembaga peradilan
dan ideology apparatus yang terdiri
atas agama dan pendidikan.
Teori
yang terakhir adalah teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, yakni teori
hegemoni. Bila Karl Marx menyatakan bahwa dominasi dari ruling class terhadap working
class dapat diatasi melalui revolusi yang berdarah-darah, namun berbeda
halnya dengan Gramsci. Ia beranggapan bahwa tidak perlu berdarah-darah untuk
melawan, tapi cukup dengan menciptakan sebuah hegemoni.
Hegemoni
yang dimaksud disini merupakan kekuatan yang dihimpun oleh para intelektual
organik dengan membentuk sebuah aliansi. Dengan demikian, harapannya adalah
akan terjadi pasif revolusi atau yang disederhanakan istilahnya menjadi
transformatif.
Gramsci
memperkenalkan istilah intelektual
organik dalam teorinya. Baginya, semua orang merupakan intelektual namun
tidak semua intelektual itu organik. Yang dikatakan sebagai intelektual organik
hanyalah mereka yang mampu mengartikulasikan kepentingan kelompoknya dan
kepentingan kelompok lain. Intelektual organik inilah yang bertanggungjawab
dalam membangun aliansi dan menciptakan hegemoni.
Dan
karena semua orang dianggap sebagai intelektual, maka dalam membangun aliansi, intelektual
organik haruslah melibatkan semua pihak, dari golongan atau agama apapun dia.
Gramsci tidak menganggap kelompok agama sebagaimana Althusser, yaitu sebagai ideology apparatus dari negara dalam
rangka menguasai working class. Ia
tetap menganggap semua pihak harus dirangkul dalam upaya penciptaan hegemoni
tadi. Dan juga tidak seperti Althusser dan Karl Marx, Gramsci beranggapan bahwa
perubahan itu haruslah dimulai dari bawah menuju ke atas. Hegemoni tadi dimulai
dan digerakkan dari bawah, bukan untuk menguasai state atau negara di atasnya, melainkan untuk mengintervensi agar
kebijakan negara tidak merugikan rakyat.
Dalam menghimpun kekuatan atau aliansi besar, maka secara
otomatis akan tercipta dan muncul pemimpin-pemimpin yang menonjol. Mereka ini
disebut sebagai creative minority.
Para creative minority adalah mereka
yang telah memiliki kesadaran revolusionis. Kesadaran untuk memulai sebuah
perubahan. Kesadaran ini hanya bisa diperoleh ketika telah mampu melihat bahwa
ada jurang yang cukup besar antara kondisi dalam realita dengan kondisi ideal
sebagaimana seharusnya.
Bila
mengaitkannya dengan kehidupan pergerakan kampus, maka kesadaran revolusionis
inilah yang harus banyak digalakkan dan dikampanyekan. Hal ini tak lain
bertujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya creative minority sehingga
pergerakan itu tidak akan mati.
Diskusi kali ini memang lebih banyak menekankan pada
pengenalan gerakan transformatif atau pasif revolusi. Sebagaimana telah
dikatakan sebelumnya, gerakan model ini adalah pilhan yang paling rasional
untuk saat ini.
Ruling class
dalam lingkup universitas ini telah mencekoki para mahasiswa dengan
pikiran-pikiran bahwa masa kuliah adalah masa emas untuk membangun jaringan,
mempersiapkan hari tua dengan meraih gelar agar bisa mendapat pekerjaan
sehingga mengalihkan perhatian dari peran utama mahasiswa dalam masyarakat
yakni sebagai kaum intelektual yang harus memiliki kesadaran kritis jauh lebih
banyak daripada yang bukan mahasiswa.
Dengan
adanya penyebaran ideologi dari ruling
class (pihak berkuasa, baik itu rektorat ataupun yang lain) pada wilayah
pinggiran (mahasiswa umum) dalam rangka menutup kesadaran berpikir, maka tak
ada jalan lain selain para creative
minority untuk segera mengambil
tindakan agar kesadaran mahasiswa ini tidak tertutup seluruhnya bahkan mati.
Mereka harus memilih untuk bergerak. Membentuk sebuah aliansi, persatuan, atau
terserah apapun namanya. Membangun sebuah gerakan transformatif yang
berlandaskan pada kesukarelaan dan solidaritas bersama.
(Tulisan ini merupakan rangkuman diskusi di UKPKM MEDIA Unram)
(Tulisan ini merupakan rangkuman diskusi di UKPKM MEDIA Unram)
0 comments:
Post a Comment