Sunday 4 November 2012

Membangun Gerakan Transformatif


Dunia mahasiswa sangat lekat dengan dunia pergerakan. Selayaknya julukan tenar yang dimiliki oleh mahasiswa yakni agent of change, kita tentunya juga tahu bahwa perubahan, change, tidak akan dapat tercapai tanpa melalui sebuah pergerakan. Meski banyak yang beranggapan bahwa dunia pergerakan
mahasiswa telah banyak mengalami kemunduran, namun salah rasanya bila membiarkan hal itu terus terjadi hingga akhirnya menghilang.
Berbicara tentang dunia pergerakan memang secara otomatis pula berbicara praktik. Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang kawan yang saya kenal, bahwa praktik tanpa berlandasakan teori tak ubahnya seperti kambing yang mengembik. Berdasarkan hal itulah, maka di sore hari yang mendung pada Kamis (08/03) lalu, keredaksian Media mensponsori dilaksanakannya Eef Media Discoure yang bertema Gerakan Transformatif.
Untuk edisi perdana kali ini, Eef sebagai pemandu diskusi menghadirkan Ramli sebagai pembicaranya. Obrolan ini dibuka dengan mempertanyakan urgensi apa sebenarnya yang mendasari kebutuhan kita akan gerakan transformatif ini.
Bang Ramli, demikian ia biasa disapa, menyatakan secara tegas di awal pembicaraannya bahwa ada kebutuhan yang sangat mendesak bagi kita untuk melakukan gerakan transformatif ini. Gerakan transformatif pada hakikatnya merupakan sebuah antitesa dari gerakan revolusi yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Sementara revolusi telah gagal di banyak negara maka pilihan paling rasional dengan kondisi kita saat ini adalah melakukan gerakan transformatif.
Untuk membawa pikiran kita ke arah pembacaan konteks saat ini, diperlukan pengetahuan akan tiga teori sentral, yakni teori political economy, teori structuralism, dan teori hegemoni. Ketiga teori inilah yang nantinya akan membawa pada pengenalan terkait gerakan transformatif yang telah disebutkan sebelumnya.
Bang Ramli memulai dengan teori political economy yang disampaikan oleh Karl Marx. Dalam teori tersebut, masyarakat dibagi dalam dua jenis kelas yakni ruling class (kelas penguasa) dan working class (kelas pekerja). Dalam hal ini, kelas pekerja merupakan subordinat dari kelas penguasa yang hanya bisa menerima saja apa-apa yang dikatakan oleh ruling class. Sementara working class tak punya akses terhadap modal produksi dan hanya bisa menerima saja, maka jadilah working class terus-menerus menjadi pihak yang tertindas sementara ruling class menjadi pihak yang berkuasa.
Teori yang kedua adalah teori structuralism yang dikemukakan oleh Louis Althusser. Dalam teori ini dikenal penyebutan istilah state atau negara yang sebelumnya tak pernah disinggung oleh Karl Marx. Negara dianggap menjadi instrument ruling class untuk menindas working class. Dalam mencapai tujuan tersebut, maka negara haruslah menguasai apa yang disebut sebagai apparatus state. Apparatus state ini sendiri terdiri atas repressif apparatus seperti polisi, tentara, dan lembaga peradilan dan ideology apparatus yang terdiri atas agama dan pendidikan.
Teori yang terakhir adalah teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, yakni teori hegemoni. Bila Karl Marx menyatakan bahwa dominasi dari ruling class terhadap working class dapat diatasi melalui revolusi yang berdarah-darah, namun berbeda halnya dengan Gramsci. Ia beranggapan bahwa tidak perlu berdarah-darah untuk melawan, tapi cukup dengan menciptakan sebuah hegemoni.
Hegemoni yang dimaksud disini merupakan kekuatan yang dihimpun oleh para intelektual organik dengan membentuk sebuah aliansi. Dengan demikian, harapannya adalah akan terjadi pasif revolusi atau yang disederhanakan istilahnya menjadi transformatif.
Gramsci memperkenalkan istilah intelektual organik dalam teorinya. Baginya, semua orang merupakan intelektual namun tidak semua intelektual itu organik. Yang dikatakan sebagai intelektual organik hanyalah mereka yang mampu mengartikulasikan kepentingan kelompoknya dan kepentingan kelompok lain. Intelektual organik inilah yang bertanggungjawab dalam membangun aliansi dan menciptakan hegemoni.
Dan karena semua orang dianggap sebagai intelektual, maka dalam membangun aliansi, intelektual organik haruslah melibatkan semua pihak, dari golongan atau agama apapun dia. Gramsci tidak menganggap kelompok agama sebagaimana Althusser, yaitu sebagai ideology apparatus dari negara dalam rangka menguasai working class. Ia tetap menganggap semua pihak harus dirangkul dalam upaya penciptaan hegemoni tadi. Dan juga tidak seperti Althusser dan Karl Marx, Gramsci beranggapan bahwa perubahan itu haruslah dimulai dari bawah menuju ke atas. Hegemoni tadi dimulai dan digerakkan dari bawah, bukan untuk menguasai state atau negara di atasnya, melainkan untuk mengintervensi agar kebijakan negara tidak merugikan rakyat.
            Dalam menghimpun kekuatan atau aliansi besar, maka secara otomatis akan tercipta dan muncul pemimpin-pemimpin yang menonjol. Mereka ini disebut sebagai creative minority. Para creative minority adalah mereka yang telah memiliki kesadaran revolusionis. Kesadaran untuk memulai sebuah perubahan. Kesadaran ini hanya bisa diperoleh ketika telah mampu melihat bahwa ada jurang yang cukup besar antara kondisi dalam realita dengan kondisi ideal sebagaimana seharusnya.
Bila mengaitkannya dengan kehidupan pergerakan kampus, maka kesadaran revolusionis inilah yang harus banyak digalakkan dan dikampanyekan. Hal ini tak lain bertujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya creative minority  sehingga pergerakan itu tidak akan mati.
            Diskusi kali ini memang lebih banyak menekankan pada pengenalan gerakan transformatif atau pasif revolusi. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, gerakan model ini adalah pilhan yang paling rasional untuk saat ini.
            Ruling class dalam lingkup universitas ini telah mencekoki para mahasiswa dengan pikiran-pikiran bahwa masa kuliah adalah masa emas untuk membangun jaringan, mempersiapkan hari tua dengan meraih gelar agar bisa mendapat pekerjaan sehingga mengalihkan perhatian dari peran utama mahasiswa dalam masyarakat yakni sebagai kaum intelektual yang harus memiliki kesadaran kritis jauh lebih banyak daripada yang bukan mahasiswa.
Dengan adanya penyebaran ideologi dari ruling class (pihak berkuasa, baik itu rektorat ataupun yang lain) pada wilayah pinggiran (mahasiswa umum) dalam rangka menutup kesadaran berpikir, maka tak ada jalan lain selain para creative minority  untuk segera mengambil tindakan agar kesadaran mahasiswa ini tidak tertutup seluruhnya bahkan mati. Mereka harus memilih untuk bergerak. Membentuk sebuah aliansi, persatuan, atau terserah apapun namanya. Membangun sebuah gerakan transformatif yang berlandaskan pada kesukarelaan dan solidaritas bersama.

(Tulisan ini merupakan rangkuman diskusi di UKPKM MEDIA Unram)

0 comments: