(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB)
“Pembiasaan
paksa” tampaknya telah menjadi menjadi langkah yang sering diambil oleh
pemerintah saat ini. Pemda NTB pun tampaknya kesemsem dengan langkah yang sama.
Membaca karya-karya sastra kini
dipaksakan menjadi kebiasaan wajib para peserta didik di semua jenjang
pendidikan di NTB.
Akhir-akhir
ini santer terdengar rencana terbitnya peraturan gubernur (pergub) yang
mewajibkan murid-murid di seluruh jenjang pendidikan, SD-SMA, untuk membaca
sastra. Penulis memanglah bukan orang yang berkecimpung di dunia sastra. Namun
dari kacamata seorang awam, penulis ingin menyampaikan keresahannya terhadap pergub
ini.
Ketika
mengetahui tentang rencana akan terbitnya pergub ini, penulis teringat ketika
menyaksikan berita tv beberapa tahun lalu. Isi beritanya yaitu pergub yang
mengatur hari tertentu sebagai hari berbahasa daerah di sekolah. Saat itu,
penulis tertawa terbahak-bahak.
Persis
seperti itulah kejadiannya ketika mendengar rencana adanya pergub mengenai
kewajiban membaca sastra tersebut. Penulis membayangkan bagaimana rasanya jika
suatu saat nanti akan terbit pula pergub yang mewajibkan setiap rumah untuk
menggunakan toilet duduk, alih-alih toilet jongkok?
Yang
ingin penulis katakan adalah pergub-pergub yang pemerintah atur akhir-akhir ini
telah jauh melewati batas privat warga negaranya. Di Aceh, para pegawai negeri
“dipaksa” untuk sholat berjamaah karena telah ada peraturannya. Di Mataram,
seorang adik yang masih duduk di bangku kelas 6 SD “dipaksa” mengenakan jilbab
ke sekolah karena telah ada peraturannya. Hubungan kita dengan Tuhan sudah
diformalkan. Kini, sastra yang menjadi jembatan hubungan antara kita dengan
jiwa kita sendiripun harus diformalkan pula. Alangkah lucunya negeri ini.
Beberapa
mengatakan bahwa budaya bangsa ini adalah dipaksa dulu baru berbuat. Budaya
yang salah ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan pemaksaan-pemaksaan
yang over melalui pergub-pergub yang over pula.
Pemaksaan
itu toh akan mengurangi nilai dari kecintaan terhadap sastra itu sendiri.
Apalagi di tengah pola pikir peserta didik saat ini yang terbangun secara
sistemik agar berorientasi pada nilai dan kelulusan. Hal ini kemudian tidak
menyisakan ruang untuk menjiwai dan mencintai sebuah subjek pelajaran, sastra
ataupun yang lainnya. Sistem yang menciptakan pola pikir seperti itulah yang
seharusnya lebih dulu diubah. Baru kemudian memperumit diri dengan membentuk pergub
dan merelakan biaya besar dalam pembentukannya.
Cara-cara
pemaksaan seperti itu hanyalah jalan pintas yang ingin diambil oleh pemerintah
dalam rangka menunjukkan kepeduliannya pada minat baca dan kesastraan NTB.
Pemerintah lebih memilih menerbitkan suatu pergub daripada pemrosesan
penciptaan iklim yang kondusif bagi dunia sastra daerah kita yang mungkin akan
membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya agar dapat dikatakan berhasil.
Jika
pergub mengenai kewajiban membaca sastra ini kemudian dianggap sebagai sebuah
apresiasi dari pemerintah terhadap dunia sastra, maka mengapa tidak pemerintah
melakukan hal-hal positif yang berangkat dari budaya yang berbeda (bukan budaya
dipaksa dulu). Pemerintah, khususnya Pemda
NTB, dapat berangkat dari budaya masyarakat yang lain. Seperti kecintaan akan pengakuan dan penghargaan. Atau
kecintaan masyarakat akan uang di tengah kondisi kehidupan yang sulit.
Cara
ini terbukti sukses diterapkan di Malaysia. Pemerintahnya memberikan
penghargaan yang cukup tinggi bagi sapa saja yang unggul di bidang sastra.
Hadiah yang diberikan sungguh menarik, yakni surat penghargaan negara, uang
tunai 30.000 ringgit, diberikan kemudahan dalam menerbitkan karya-karyanya,
pembelian 50.000 eksemplar karyanya oleh negara, memperoleh pengobatan gratis,
serta karyanya yang sesuai akan diprioritaskan untuk diterjemahkan ke dalam
bahasa asing. Tidak perlu melihat jumlahnya. Yang perlu dicontoh adalah
keseriusan pemerintahnya menghargai kesastraan itu sendiri.
Di
NTB sendiri, sangat sulit kita temukan hal yang demikian. Sastrawan-sastrawan
kita seringkali berjuang sendirian untuk menerbitkan hasil karyanya. Usaha
untuk memajukan dunia sastrapun dilakukan secara swadaya dan swadana, tanpa
bantuan pemerintah. Apahjagah institute yang digawangi oleh Abdul Latief
Apriaman dkk misalnya. Apahjagah institute berkeliling pulau Lombok dengan
program Sabtu Sastra nya dan berusaha menarik minat mereka-mereka yang
mencintai sastra (dalam hal ini puisi). Karya-karya para pengunjung yang
dibacakan dalam acara itu akan diterbitkan dalam sebuah buku antologi puisi.
Ironisnya, diterbitkan secara swadana.
Penulis
tidak bermaksud untuk merendahkan niat tulus para sastrawan daerah kita untuk
memajukan dunia sastra. Hanya saja, peran pemerintah untuk mendukungnya perlu
diperjelas. Memberikan ruang penghargaan sebesar-besarnya terhadap para pegiat
sastra akan menjadi sesuatu yang agaknya lebih baik daripada sekedar melakukan
pemaksaan membaca sastra yang diharapkan akan menumbuhkan kecintaan.
Tanpa
perlu dibuatkan sebuah pergub pun, pada kenyataannya ada banyak siswa yang
menyukai bacaan sastra dan dunia penulisan sastra. Hanya saja, kecintaan mereka
terhadap sastra seringkali mereka tinggalkan atau hanya dijadikan sampingan
demi untuk mengejar cita-cita yang lebih memiliki nilai tawar di mata
orangtuanya. Pilihan untuk bergelut di dunia sastra apalagi di NTB bukanlah
sebuah hal yang mudah. Butuh kebulatan tekad yang kuat dan keberanian yang
besar.
Terkait
rendahnya minat terhadap bacaan sastra tentunya akan meningkat jika karya
sastra telah bertaburan dimana-mana akibat geliat penulis sastra yang tinggi.
Apalagi jika harga bukunya cukup terjangkau kerena proses penerbitan yang
memperoleh bantuan dari pemerintah.
Oleh
karenanya, pemerintah seharusnya berhenti menggunakan cara-cara formal untuk
sesuatu hal yang berkaitan dengan minat dan kecintaan seperti ini. Biarkanlah sastra
memiliki ruang apresiasinya sendiri yang bebas dan dipenuhi oleh kesuka-relaan
hati. Karena hanya apa-apa yang dilandaskan akan kesuka-relaan hati lah yang
terbukti akan terus bertahan.