Friday 25 May 2012

(Book Review) Karnak Café: Apapun yang Terbaik yang Dipilihkan Tuhan

Gambar: marywhipplereviews.com

        Karnak Café. Novel ini merupakan karangan Najib Mahfudz, seorang sastrawan asal Mesir. Mengambil latar pada masa peperangan Juni 1967 di Mesir, novel ini bercerita tentang sebuah kafe bernama Karnak Café yang menjadi tempat berkumpul berbagai jenis orang.

Thursday 24 May 2012

Dunia Sastra NTB Butuh Penghargaan Bukan Peraturan


(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB)

“Pembiasaan paksa” tampaknya telah menjadi menjadi langkah yang sering diambil oleh pemerintah saat ini. Pemda NTB pun tampaknya kesemsem dengan langkah yang sama.
Membaca karya-karya sastra kini dipaksakan menjadi kebiasaan wajib para peserta didik di semua jenjang pendidikan di NTB.
Akhir-akhir ini santer terdengar rencana terbitnya peraturan gubernur (pergub) yang mewajibkan murid-murid di seluruh jenjang pendidikan, SD-SMA, untuk membaca sastra. Penulis memanglah bukan orang yang berkecimpung di dunia sastra. Namun dari kacamata seorang awam, penulis ingin menyampaikan keresahannya terhadap pergub ini.
Ketika mengetahui tentang rencana akan terbitnya pergub ini, penulis teringat ketika menyaksikan berita tv beberapa tahun lalu. Isi beritanya yaitu pergub yang mengatur hari tertentu sebagai hari berbahasa daerah di sekolah. Saat itu, penulis tertawa terbahak-bahak.
Persis seperti itulah kejadiannya ketika mendengar rencana adanya pergub mengenai kewajiban membaca sastra tersebut. Penulis membayangkan bagaimana rasanya jika suatu saat nanti akan terbit pula pergub yang mewajibkan setiap rumah untuk menggunakan toilet duduk, alih-alih toilet jongkok?
Yang ingin penulis katakan adalah pergub-pergub yang pemerintah atur akhir-akhir ini telah jauh melewati batas privat warga negaranya. Di Aceh, para pegawai negeri “dipaksa” untuk sholat berjamaah karena telah ada peraturannya. Di Mataram, seorang adik yang masih duduk di bangku kelas 6 SD “dipaksa” mengenakan jilbab ke sekolah karena telah ada peraturannya. Hubungan kita dengan Tuhan sudah diformalkan. Kini, sastra yang menjadi jembatan hubungan antara kita dengan jiwa kita sendiripun harus diformalkan pula. Alangkah lucunya negeri ini.
Beberapa mengatakan bahwa budaya bangsa ini adalah dipaksa dulu baru berbuat. Budaya yang salah ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan pemaksaan-pemaksaan yang over melalui pergub-pergub yang over pula.
Pemaksaan itu toh akan mengurangi nilai dari kecintaan terhadap sastra itu sendiri. Apalagi di tengah pola pikir peserta didik saat ini yang terbangun secara sistemik agar berorientasi pada nilai dan kelulusan. Hal ini kemudian tidak menyisakan ruang untuk menjiwai dan mencintai sebuah subjek pelajaran, sastra ataupun yang lainnya. Sistem yang menciptakan pola pikir seperti itulah yang seharusnya lebih dulu diubah. Baru kemudian memperumit diri dengan membentuk pergub dan merelakan biaya besar dalam pembentukannya.
Cara-cara pemaksaan seperti itu hanyalah jalan pintas yang ingin diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjukkan kepeduliannya pada minat baca dan kesastraan NTB. Pemerintah lebih memilih menerbitkan suatu pergub daripada pemrosesan penciptaan iklim yang kondusif bagi dunia sastra daerah kita yang mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya agar dapat dikatakan berhasil.
Jika pergub mengenai kewajiban membaca sastra ini kemudian dianggap sebagai sebuah apresiasi dari pemerintah terhadap dunia sastra, maka mengapa tidak pemerintah melakukan hal-hal positif yang berangkat dari budaya yang berbeda (bukan budaya dipaksa dulu). Pemerintah, khususnya Pemda NTB, dapat berangkat dari budaya masyarakat yang lain. Seperti  kecintaan akan pengakuan dan penghargaan. Atau kecintaan masyarakat akan uang di tengah kondisi kehidupan yang sulit.
Cara ini terbukti sukses diterapkan di Malaysia. Pemerintahnya memberikan penghargaan yang cukup tinggi bagi sapa saja yang unggul di bidang sastra. Hadiah yang diberikan sungguh menarik, yakni surat penghargaan negara, uang tunai 30.000 ringgit, diberikan kemudahan dalam menerbitkan karya-karyanya, pembelian 50.000 eksemplar karyanya oleh negara, memperoleh pengobatan gratis, serta karyanya yang sesuai akan diprioritaskan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Tidak perlu melihat jumlahnya. Yang perlu dicontoh adalah keseriusan pemerintahnya menghargai kesastraan itu sendiri.
Di NTB sendiri, sangat sulit kita temukan hal yang demikian. Sastrawan-sastrawan kita seringkali berjuang sendirian untuk menerbitkan hasil karyanya. Usaha untuk memajukan dunia sastrapun dilakukan secara swadaya dan swadana, tanpa bantuan pemerintah. Apahjagah institute yang digawangi oleh Abdul Latief Apriaman dkk misalnya. Apahjagah institute berkeliling pulau Lombok dengan program Sabtu Sastra nya dan berusaha menarik minat mereka-mereka yang mencintai sastra (dalam hal ini puisi). Karya-karya para pengunjung yang dibacakan dalam acara itu akan diterbitkan dalam sebuah buku antologi puisi. Ironisnya, diterbitkan secara swadana.
Penulis tidak bermaksud untuk merendahkan niat tulus para sastrawan daerah kita untuk memajukan dunia sastra. Hanya saja, peran pemerintah untuk mendukungnya perlu diperjelas. Memberikan ruang penghargaan sebesar-besarnya terhadap para pegiat sastra akan menjadi sesuatu yang agaknya lebih baik daripada sekedar melakukan pemaksaan membaca sastra yang diharapkan akan menumbuhkan kecintaan.
Tanpa perlu dibuatkan sebuah pergub pun, pada kenyataannya ada banyak siswa yang menyukai bacaan sastra dan dunia penulisan sastra. Hanya saja, kecintaan mereka terhadap sastra seringkali mereka tinggalkan atau hanya dijadikan sampingan demi untuk mengejar cita-cita yang lebih memiliki nilai tawar di mata orangtuanya. Pilihan untuk bergelut di dunia sastra apalagi di NTB bukanlah sebuah hal yang mudah. Butuh kebulatan tekad yang kuat dan keberanian yang besar.
Terkait rendahnya minat terhadap bacaan sastra tentunya akan meningkat jika karya sastra telah bertaburan dimana-mana akibat geliat penulis sastra yang tinggi. Apalagi jika harga bukunya cukup terjangkau kerena proses penerbitan yang memperoleh bantuan dari pemerintah.
Oleh karenanya, pemerintah seharusnya berhenti menggunakan cara-cara formal untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan minat dan kecintaan seperti ini. Biarkanlah sastra memiliki ruang apresiasinya sendiri yang bebas dan dipenuhi oleh kesuka-relaan hati. Karena hanya apa-apa yang dilandaskan akan kesuka-relaan hati lah yang terbukti akan terus bertahan.

Saturday 12 May 2012