Wednesday 27 January 2016

[Novel] Lelaki Harimau: Biarlah Ia Mati

Lelaki Harimau, karya kedua dari Eka Kurniawan yang aku baca. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, aku membaca Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Novel yang bagus meski bukan novel favoritku. Setelah membaca Seperti Dendam [...] aku berjodoh pula membaca tulisan-tulisan lain Eka, bukan buku, tapi berupa jurnal-jurnal yang ditulisnya. 

Aku menyukai Eka yang seorang pembaca. Selera bacaannya aku sukai dan selalu aku jadikan referensi untuk mencari buku selanjutnya untuk dibeli. Tentu saja, fakta bahwa ia kebanyakan membaca karya dalam bahasa inggris cukup menyusahkan aku untuk mengetahui apakah buku tersebut juga tersedia terjemahan bahasa Indonesianya. Sedangkan Eka yang seorang penulis, aku sukai karena gaya bahasanya yang “lincah” dan “luwes”. Ia mengakui sendiri bahwa dirinya menyukai gaya bahasa pasar dan kesukaannya itu pun terang tergambar dari pemilihan kata dalam novel-novelnya.

Lelaki Harimau. Dari lima halaman awal membaca novel ini, aku sudah langsung membayangkan novel The Chronicle of A Death Foretold (Gabriel Garcia Marquez). Dan di bagian akhir novel dimana Anwar Sadat mengambil porsi lebih besar dalam cerita, aku tetiba ingat Esteban Trueba dalam The House of The Spirits (Isabel Allende). Well, itu pendapatku, tidak perlu membenarkan ataupun menyalahkan. Toh, Eka Kurniawan sendiri adalah penggemar Gabriel. Dan aku rasa tidak ada satu tulisanpun oleh siapapun yang tidak memiliki pengaruh dari penulis lain. (aku tidak pernah membaca ia membahas Isabel Allende. Tentang Anwar Sadat yang mirip Esteban mungkin hanya pendapat berlebihan). Meski begitu boleh dibilang aku lebih menyukai novel ini daripada Seperti Dendam [...].

Buku ini berisi kisah si Margio yang membunuh tetangganya sekaligus bapak kekasihnya, Anwar Sadat. Dalam novel ini Eka dengan mahir menggunakan alur maju-mundur yang perubahan settingnya begitu halus dan seolah-olah mengalir begitu saja dalam pikiran kita. Aku kadang-kadang harus membaca ulang halaman sebelumnya untuk mencaritahu sejak kapan aku dialihkan ke setting waktu atau tempat yang lain. 

Ah, begitulah. Membaca Lelaki Harimau kemudian menjadi tempat kabur yang membawa jauh ke dalam dunia sureal dimana harimau dapat mendekam dalam tubuh manusia. Margio mengelak mengakui bahwa dirinyalah yang membunuh Anwar Sadat melainkan sang harimau. 

Kita semua tahu kebinatangan dalam diri manusia akan muncul saat dia marah. Pembunuhan yang awalnya terdengar tragis karena disebabkan oleh remeh-temeh masalah cinta yang tak direstui, pelan-pelan dibawa Eka menuju sebuah pembenaran yang lebih masuk akal di akhir cerita. Dan kemudian kamu menjadi pembaca yang pengertian. Yang juga turut merestui pembunuhan. Biarlah, toh “ia mati saat bokongnya telah gila dan ada bisul di pikirannya." Mari baca!

Friday 22 January 2016

Masalah Buruh Migran: Semoga tak Hanya Berakhir dalam Doa

Malam tadi (21/1) aku habiskan dengan nonton bareng film pendek Menya(m)bung Nasib di Negeri Orang (Sutradara: Anton Susilo). Film ini kira-kira bercerita tentang nasib seorang gadis remaja yang menjadi buruh migran dikarenakan kondisi ekonomi keluarga mereka yang tidak baik. Yang pada akhirnya justru memberikan nasib buruk pada si gadis. 

Film ini, jika boleh saya menebak, tentu berangkat dari kegelisahan sang sutradara tentang jumlah buruh migran asal NTB yang terus meningkat setiap tahunnya dan pula tingginya tingkat kasus buruh migran yang bernasib naas di negeri seberang. Kegelisahan yang tentu saja beralasan. 

Berkaca dari tahun sebelumnya,  (data tahun 2015 belum rilis- sejauh yang saya tahu) jumlah buruh migran asal NTB 2014 yakni 56.672, meningkat jauh dari yang 2013 sejumlah 45.000 (sumber: antaranews.com). Ini menunjukkan animo masyarakat yang masih tinggi meskipun ragam kasus telah menimpa saudara-saudara kita yang lebih dulu menjadi buruh migran.

Menyalahkan kondisi ekonomi yang tidak baik sebagai alasan menjadi buruh migran tentu menjadi sebuah alasan dangkal tentang kondisi sosial ini. Menjadi buruh migran adalah sebuah pilihan. Cerdas dan-atau tidak cerdas. Diantara ada dan-atau tiadanya pilihan lain. Puisi yang dipentaskan oleh kawan-kawan Sanggar Teater Samawa semalam pun sedikit banyak menyalahkan minimnya lapangan pekerjaan sebagai penyebab tingginya angka buruh migran asal NTB ini. 

Cerdas dan-atau tidak cerdas. Saya katakan demikian karena selain merasa sedih dengan banyaknya kejadian buruk yang menimpa saudara-saudara kita di luar sana, saya juga mengenal dan tahu bahwa ada banyak buruh migran indonesia yang bernasib baik (nasib?). Para buruh migran ini memilih menjadi buruh migran. Disebabkan baiknya nasib yang mereka dapatkan sebelumnya. Atau mendengar kisah-kisah baik dari para rekan mereka yang sudah berada di sana. Apakah ini cerdas? Memilih dengan melalui sebuah rangkaian pertimbangan menurut saya adalah sebuah upaya menentukan pilihan secara cerdas. 

Dan tentu tidak cerdas jika tanpa dibarengi proses demikian. Apakah ada yang seperti itu? Tentu banyak. Terlepas dari anomali-anomali semacam yang diangkat oleh Mas Anton (akrabnya), bahwa banyak yang memalsukan umur, buruh migran kita adalah orang-orang dewasa yang seringkali tidak memiliki cukup pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan, situasi negara tujuan, atau hal-hal krusial yang mereka butuhkan. 

Ada dan-atau tiadanya pilihan lain. Bukankah sering kita mendengar bahwa Indonesia tidak menyediakan cukup lapangan perkerjaan bagi masyarakatnya. Atau bukankah sering pula kita mendengar tingginya jumlah pengangguran. Atau sekedar keluh-kesah tetangga kita tentang anak-keponakan-cucu-saudara nya yang belum juga mendapatkan pekerjaan. Menjadi buruh migran sering disandingkan dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain di negeri sendiri. Ingin menjadi petani, lahan sudah habis terjual, menjadi buruh tani mungkin tak mampu mencukupi. Sedangkan pekerjaan lain tak mampu dilakoni. 

Atau apakah iya kesempatan itu tidak ada? Seringkali ketika saya bertemu pemilik sebuah usaha, mereka menceritakan betapa sulitnya mereka menemukan tenaga untuk membantu mereka. Ini tentu bukan masalah ijazah. Sebab bahkan para pemegang ijazah sekolah tinggi pun banyak yang menganggur.
***
Baik dari cerdas-tidak cerdasnya pilihan menjadi buruh migran atau ada-tiadanya pilihan lain selain itu, kedua hal ini saya rasa bermuara pada tingkat pendidikan masyarakat.  Tentang pendidikan ini tentu sudah sering kita dengar tiap kali bahasan terkait buruh migran digelar. Pemerintahan Jokowi bahkan dikatakan sangat menaruh perhatian pada nasib buruh migran Indonesia. Balai-balai latihan kerja digalakkan untuk mempersiapkan para buruh migran, dan buruh migran non-prosedural dipangkas sebisa mungkin.

Tapi menurutku, jika ingin hal baik menimpa buruh migran kita ke depannya. Bukan hanya pendidikan pra-keberangkatan saja yang perlu dilakukan. Upaya preventif yang jauh lebih kuat-lah yang dibutuhkan. Pendidikan yang jauh lebih mengakar-lah yang harus dilakukan. Yakni pendidikan sejak dini. Pendidikan yang mampu membuka pikiran anak-anak sedari dini bahwa pekerjaan (atau pun kesempatan) tak melulu harus dicari tapi terkadang perlu diciptakan. 
 
Jika negara tidak mampu hadir untuk memfasilitasi hal ini. Kacaulah negara kita. Sebab, masalah pendidikan yang saya bicarakan ini juga menjadi masalah mengapa terorisme semakin marak itu. Atau juga menjadi penyebab minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia yang tentu mengganggu kehidupan ekonomi masyarakatnya. Atau juga ingin menyebutkan masalah paling kronis bangsa ini- karakter merasa rendah, merasa kalah, merasa miskin- yang menyebabkan banyak orang korupsi, menyebabkan banyak orang merasa inferior di hadapan asing.

Dan, tentu apalah arti segudang teori tanpa dijalani. Mengutip kata Sukarno, “Revolusi tidak datang hanya karena kita berteriak-teriak Revolusi...revolusi...revolusi sampai mati.” Marilah kita anggap kita tengah berjuang melakukan upaya revolusi (mental?). Maka jangan hanya berteriak-teriak saja. Teori-teori saja. Tapi juga butuh perbuatan. Atau tentu kita tidak mau pula tragedi-tragedi naas yang menimpa buruh-buruh migran Indonesia berakhir dalam sebuah doa, sebagaimana Sanggar Teater Samawa menutup pentas teatrikalnya semalam. 

Apapun itu, pada akhir tulisan ini, perkenankan saya atas nama pribadi mengucapkan selamat dan sukses atas pemutaran dan diskusi film Menya(m)bung Nasib di Negeri Orang semalam. Mas Anton Susilo, melalui film ini telah “berbuat”. Semoga perbuatannya mengakar, menjalar, dan tumbuh  menjadi sesuatu yang hebat. Dan tentu saja karena acara semalam juga merupakan rangkaian perayaan HUT Kabupaten Sumbawa ke-57, saya yang lahir dan besar di Sumbawa ini juga  mengucapkan Dirgahayu Kabupaten Sumbawa tercinta. Dirgahayu. Dirgahayu. Hingga nanti-nanti.


Monday 18 January 2016

Ah, Perempuan!


Sarinah. Baru-baru ini terjadi ledakan bom bunuh diri di tempat itu, yang pula memakan tujuh orang korban meninggal dunia. Diberi-nama oleh Sukarno, bapak bangsa kita, dengan nama pengasuhnya dulu saat ia masih kanak-kanak. Sarinah. Diharapkan jadi tempat berkumpulnya masyarakat kecil dimana kebutuhan mereka dapat mudah mereka temui (demikian cita-citanya). Sarinah. Bernama sama dengan buku ini.

Siapa yang tak kenal Sukarno sebagai seorang pecinta wanita tersohor (aku tidak tahu pasti berapa jumlah istrinya). Tetapi ia tidak hanya mencintai wanita sebagaimana makna cinta yang dikenal banyak orang (meskipun tentu tak lepas dari itu). Cintanya membuat ia memikirkan “jalan”, memikirkan “lorong”, yang harus ditempuh para wanita untuk kesejahteraan mereka sendiri.

Buku ini, menurutku, menjadi kado Sukarno pada wanita Indonesia, yang kalaulah boleh kubilang mungkin merupakan hal ketiga yang paling dicintainya (setelah Tuhan dan Indonesia itu sendiri).

Buku ini ditulis di bawah cahaya lilin saat umur proklamasi kita masih berumur sekiranya dua setengah tahun. Ia terangkan dan jadikan landasan bahwasanya kondisinya menulis di bawah cahaya lilin adalah seterang-terangnya alasan bahwa masih banyak yang harus diperbuat oleh Bangsa Indonesia meski telah merdeka. Dan di dalam perbuatan-perbuatan-perlu di masa yang akan datang itu, tidak lah dapat berhasil tanpa keterlibatan wanita.

Kondisi wanita pada saat itu, tidak hanya di Indonesia tapi hampir di seluruh belahan dunia, ialah menjadi kaum tertindas dari laki-laki. Dampak dari kebablasannya patriarkat yang dianut oleh sebagian besar adat-istiadat manusia. Wanita seringkali dinyatakan sebagai, berdasarkan perkataan Prof Havelock Ellis (dikutip dalam buku ini), “suatu belasteran antara seorang dewi dan seorang tolol”. Maka pada sekitaran abad 18 mulailah muncul perlawanan-perlawanan dari kaum wanita ini.

Dipaparkan dalam buku ini, sejarah singkat pergerakan wanita di dunia. Kebanyakan mengambil contoh di Jerman, sebab di sanalah perjuangan wanita sering ditengok pada masa-masa itu. Karena kuatnya landasan pergerakan. Karena kuatnya semangat berjuang.

Terdapat tiga tingkatan pergerakan wanita, merujuk pada buku ini.

Tingkatan pertama ialah pergerakan yang sangat lemah atau bila perlu tidak dinamakan pergerakan. Sukarno bahkan menyebutnya “main putri-putrian”. Pada tingkatan ini, para wanita-wanita ningrat berkumpul dalam suatu klub-klub atau perkumpulan dimana mereka menghabiskan waktu mengusir rasa bosan. Berusaha menyempurnakan diri sebagai perempuan agar ia disukai laki-laki dan tidak direndahkan. “Sama sekali jauh terasing dari massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik apapun.”

Kemudian adalah tingkatan kedua, yakni tingkatan yang lebih sadar membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Tidak hendak “menyempurnakan” kaum perempuan buat kesempurnaan pengabdian pada kaum laki-laki, tetapi satu tingkatan yang lebih sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki, dalam hal menempati lapangan-lapangan pekerjaan dan hak pilih.

Gerakan ini ialah gerakan feminisme. Gerakan ini melihat laki-laki sebagai lawan. Yang kemudian gerakan ini mulai pudar sebab timbulnya kesadaran di kalangan perempuan proletar bahwa penggerak feminisme pada dasarnya adalah perempuan kelas borjuis yang ingin mendapatkan hak yang sama dengan yang dimiliki oleh suami mereka. Maka gerakan ini bukan semata-mata pergerakan yang utuh dari kaum perempuan melainkan perjuangan kelas dari kaum perempuan borjuis.

Kaum perempuan proletar sendiri sudah dapat turut serta dalam kegiatan produksi masyarakat dalam industri-indusri. Namun yang mereka butuhkan lagi adalah pemanusiaan pekerjaan mereka (saat itu mereka ada yang bekerja hingga 12 jam sehari). Bekerja semacam kuda beban seperti itu yang belum lagi ditambah dengan pekerjaan rumah tangga yang menunggu di rumah membuat ada “retak” dalam jiwa mereka.

Maka tidak puaslah kaum perempuan proletar dan lahirlah tingkatan pergerakan perempuan yang ketiga, yakni gerakan perempuan yang tidak hanya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Gerakan ini menuntut perubahan susunan masyarakat sama sekali. Sebab apalah gunanya persamaan hak saja kalau toh perempuan dan juga laki-laki, kedaa-duanya, sebagai kelas, tertindas.

Gerakan ini kemudian terus berkembang (bersamaan dengan gerakan sosialis) dengan menjadikan hak memilih dan dipilih sebagai tujuan paling dekatnya untuk mencapai tujuan akhirnya yakni suatu susunan masyarakat yang sama sekali baru. Gerakan ini tidak menjadikan laki-laki sebagai musuhnya melainkan berjuang bersamaan dengan laki-laki.

Demikianlah tiga tingkatan pergerakan perempuan menurut Sukarno, sang agitator ulung. Ia berapi-api memaparkan dalam bukunya ini bahwa hanya dalam masyarakat sosialis lah para wanita dapat menemukan kebahagiaannya. Ia memuji-muji tingakatan ketiga dan berharap perempuan Indonesia segera dapat mencapai tingkatan itu.

Terbukanya kesadaran perempuan itu penting terlebih saat itu Bangsa Indonesia tengah membutuhkan seluruh segenap jiwa-jiwa yang ada di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sukarno mengutip berulang-ulang kata-kata Gandhi, “Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaannya wanita kita…” dan juga kata-kata Lenin, “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai.”

Tetapi, “siapa yang dapat menolong wanita jika wanita sendiri tidak memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak beraksi, tidak pula mencari jalan?”

“Hai, wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner,-tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner jika tiada pedoman revolusioner!”

Ah, Perempuan. Sudahlah ada pedoman revolusioner melalui buku ini (saya kira), maka sudahkah Kamu menjadi wanita revolusioner?

Judul Buku        : Sarinah
Penulis              : Ir. Sukarno
Penerbit            : Yayasan Bung Karno bekerjasama dengan Penerbit Media Pressindo
Tahun Terbit     : 2014 (cetakan baru, buku ini juga memiliki cetakan lama dengan ejaan lama)

Saturday 2 January 2016

[Novel] Little Women: Empat Bersaudara yang Mempesona


Buku yang kubeli dari seorang teman ini malah lebih dulu kupinjamkan daripada kubaca sendiri. Maka, kuputuskan, proyek membaca akhir tahunku adalah menyelesaikan membaca Little Women yang telah kutunda demikian lama. Proyek ini terlaksana, meskipun target selesai dalam sehari harus bergeser menjadi dua hari akibat banyaknya undangan (baca: gangguan) pesta akhir tahun.

Keluarga March adalah keluarga Amerika sederhana di abad 19. Sang ayah harus mengikuti tugas ketentaraan, sehingga rumah mereka hanya dihuni sang ibu (marmee), dan 4 gadis bersaudara, serta Hannah pelayan mereka. Keempat bersaudara itu mewarnai kehidupan rumah sederhana mereka dengan keceriaan.

Kisah ini dimulai pada malam natal. Meg si gadis sulung yang cantik jelita. Jo yang tomboy. Beth si pecinta musik. Dan Amy sang seniman cilik. Mereka berempat cenderung suka mengeluhkan hal-hal yang harus mereka jalani sehari-hari. Meski demikian mereka adalah orang-orang yang tulus dan penyayang.

Dalam satu tahun, mereka mengalami berbagai macam hal yang pelan-pelan membantu mereka menghilangkan sifat buruk masing-masing. Semua itu tentu tak lepas dari peran sang ibu yang penyayang yang dengan sabar membimbing mereka melalui segala macam hal.

Novel ini adalah novel bertema drama keluarga berisi tokoh-tokoh wanita realis yang dapat dikatakan tidak lazim di zamannya. Amerika saat itu (abad 19) dipenuhi dengan karya-karya fiksi yang menceritakan tokoh wanita dengan sifat sempurna layaknya dalam dongeng penuh khayalan. Louisa May Alcott berhasil keluar dari arus utama dan menghadirkan kisah ini pada kita.

Meski aku tidak bisa bilang bahwa aku menyukai buku ini dengan sangat, namun buku ini masih masuk dalam kategori bagus menurut standarku. Ada banyak pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik dengan mengikuti kisah para gadis keluarga March. Dan karena bersifat realis, maka hal-hal tersebut sangat dekat dengan apa yang kita alami sehari-hari.

Tentu saja karena aku merasa paling mirip dengan karakter Jo, maka dialah yang paling banyak memberikanku pelajaran. Tentang bagaimana megontrol emosi, bertangungjawab pada adik-adik, dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaan.

Selain mendapat pelajaran memperbaiki diri bersama Jo, aku juga merasa dekat dengan karakter-karakter lainnya. Betapa aku menyukai Meg yang menggugurkan anggapan bahwa gadis yang cantik “di luar” tidak bisa sekaligus cantik “di dalam”. Betapa aku mencintai Beth yang pemalu dan tidak pernah menunda kebaikan. Dan tentu saja tak ketinggalan Amy yang sangat keras kepala tapi mampu mengatasi keegoisannya setelah berjuang keras.

Saat mengingat kembali isi cerita novel ini, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Entahlah, meskipun aku menyukai drama keluarga ini, dengan terjemahan yang baik pula, aku merasa  buku ini kurang memberikan kepuasan. Ah, mungkin karena bukan seleraku saja. Tapi bisa jadi selera kawan-kawan semua. Mari Baca :D

Judul                                : Little Women
Penulis                             : Louisa May Alcott
Penerjemah                      : Utti Setiawati
Penerbit                           : Penerbit Qanita