Thursday 5 April 2012
Sunday 1 April 2012
Pemuda dan Membaca Bersama-Sama Membangun Bangsa
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB.)
Pemuda saat ini menjadi miskin karya karena jarang membaca. Sebagaimana slogan-slogan yang ditulis di dinding sekolah semasa SD dulu, kenyataannya memanglah benar bahwa buku adalah jendela dunia. Dengan membuka dan membaca buku, maka telah terbuka pula jendela dunia itu. Ketika pemuda menjadi malas membaca maka tak ada lagi yang bisa diharapkan.
Tidak
ada satupun orang sukses di dunia ini yang meraih kesuksesannya tanpa membaca. Mereka
yang jarang membaca ibarat katak dalam tempurung dan tidak ada katak dalam
tempurung yang dapat memajukan kehidupannya paling tidak satu langkah dari
rekan-rekannya.
Membaca,
hingga kini, masih menjadi hobi yang mendapatkan decak kagum orang lain ketika
mendengarnya. Hal ini berarti, alih-alih menganggap membaca adalah sebuah hal
yang lumrah dan menjadi keharusan, ia justru dianggap sebuah hal yang wah.
Apalagi
kalau bukan karena masyarakat Indonesia memang belum cukup memiliki kesadaran
akan pentingnya membaca. Bilapun ada kesadaran itu dimiliki, harga buku yang
tinggi membuat hobi membaca menjadi hobi yang mahal.
Bangsa
Indonesia pernah menjadi sorotan internasional karena memiliki minat baca
penduduk terendah ketiga di Asia (UNDP 2009). Sedangkan minat baca siswa yang
disebut-sebut sebagai tunas-tunas muda bangsa masih menempati posisi 57 dari 65
negara di dunia (PISA 2009).
Cukup
banyak memang faktor yang menciptakan angka-angka di atas. Tapi kali ini,
penulis ingin menekankan pada harga buku yang masih mengagetkan calon pembeli,
khusunya para pemuda yang bisa saja langsung dibunuh keinginan membacanya. Penulis sendiri merupakan salah satu
yang seringkali hanya membeli buku ketika ada obral buku atau diskon besar-besaran
cuci gudang.
Menurut
keputusan menteri keuangan Nomor 10/KMK.04/2001, buku pelajaran
umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama seharusnya tidak dikenai pajak
bila mendapatkan rekomendasi dari kementerian terkait. Buku-buku jenis lain
selain buku tersebut tetap saja harus memenuhi pajak yang berlaku.
Tingginya
harga buku ini juga membuat rekan-rekan di kampus hanya mampu membeli buku
bajakan dengan kualitas cetakan yang membuat mata sakit ketika membacanya.
Kertasnya buram dan huruf-hurufnya seakan tercetak ganda.
Nah,
bila buku penunjang perkuliahan saja yang notabene masih tergolong buku
pelajaran sudah selangit harganya, lalu bagaimana mungkin masyarakat khususnya
pemuda diharapkan untuk memperkaya wawasannya melalui buku non-pelajaran.
Pemerintah,
paling tidak, membantu rakyatnya dalam hal-hal positif semacam ini. Misalnya dengan
memberikan subsidi terhadap harga- harga buku sehingga akan dijual ke pasaran
dengan harga yang lebih murah.
Dengan
harga buku yang lebih murah, masyarakat dapat diundang minatnya untuk paling
tidak memiliki buku. Buku yang sudah dimiliki mengundang hasrat untuk membaca.
Keinginan membaca yang awalnya hanya secuil dapat berkembang menjadi sebuah
budaya. Budaya baca dapat membuat sebuah bangsa berjaya.
Melalui
tulisan ini penulis bukannya hendak mendapatkan gratisan seumur hidup. Bila
kejayaan itu telah berhasil diperoleh, maka pemerintah dapat berangsur-angsur mengurangi
subsidi buku. Dengan demikian pemerintah mendapatkan keuntungan dari komoditi
baru berupa buku. Bangsa pun menjadi harum namanya seiring dengan tingkat
intelektual dan moral pemudanya karena membaca.
Provider jaringan GSM untuk telepon genggam saja rela
mensubsidi dan menggratiskan penggunaan internet untuk mengakses facebook demi
untuk peningkatan jumlah pengguna provider mereka. Pengorbanan kecil untuk
sesuatu yang lebih besar.
Tapi
pemerintah Indonesia nyatanya tidak pernah menggunakan prinsip ini. Padahal toh pemberian subsidi buku pada akhirnya
akan memberikan nilai yang sangat besar bagi bangsa Indonesia yang sedang
krisis moral ini.
Sementara
para calon pembaca Indonesia masih berkutat dalam pilihan membeli buku atau
tidak (karena mahalnya), TV dan internet yang menjadi media informasi murah
saat ini justru menjual komoditi sinetron dan facebook. Dua komoditi tersebut
akhirnya membuat pemuda Indonesia berpaling dari buku sepenuhnya. Indonesia
bahkan menjadi pengguna Facebook tertinggi ketiga di seluruh dunia. Sungguh
berkebalikan dari data yang kita dapati pada minat baca.
Padahal,
sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan minat baca akan menjadi
energy positif bagi suatu bangsa. Sebut saja Amerika Serikat yang ketika
didahului oleh Uni Soviet dalam hal penerbangan antariksa. Pemerintah Amerika
justru mengatasinya dengan kampanye membaca hingga akhirnya merekapun berhasil
mendaratkan astronotnya di bulan.
Belum
lagi Jepang, Kecintaan mereka terhadap kebiasaan membaca akhirnya membawa
mereka menjadi negeri sejaya saat ini. Anak-anak muda telah mampu menguasai
penciptaan robot maupun elektronik lainnya.
Data
penentuan indeks pembelian buku menunjukkan bahwa kecenderungan membeli buku
terbaik ada pada negara-negara yang harga bukunya lebih rendah atau paling
tidak sama tingkatannya dengan pendapatan per kapita penduduknya.
Harga
buku di kedua negara itu saat ini tidak dapat kita katakan murah, namun
pendapatan perkapita mereka memang sudah cukup tinggi untuk mengakses buku-buku
kesukaan dengan harga yang cukup tinggi. Sementara Indonesia?
Pengharapan
untuk mengurus masalah ini kini hanya dapat kita sandarkan pada para wakil
rakyat di DPR sana. Meskipun pada Januari lalu DPR pernah menggembar-gemborkan
keinginannya untuk mendesak pemerintah memberikan subsidi kertas untuk menekan
biaya produksi penerbitan buku, tapi rasanya bukan DPR namanya jika tidak
bekerja dengan lambat. Mencari buku murah dengan kualitas bagus masih saja
menjadi hal yang sulit. Mungkin ini juga karena para wakil rakyat di DPR sana kurang
membaca juga? Entahlah.