Wednesday 17 June 2015

[Book] Vickynisasi ala Hazel Grace Lancaster



          Vicky Prasetyo. Ia terkenal dengan gaya bicaranya yang gemar menggunakan istilah-istilah “tinggi”. Hingga akhirnya tercipta terminologi baru, yakni “Vickynisasi”. Artinya, mem-Vicky-kan segala kata-kata yang harusnya biasa menjadi istilah-istilah rumit nan “tinggi”. 

          Saya dapat dihitung sebagai salah satu penikmat hiburan (konyol) yang dibuat berdasarkan semua tingkah laku ataupun perkataan Vicky Prasetyo. Yah, itu cukup menghibur kan? Dan kemudian aku membaca The Fault in Our Stars (John Green)  yang membawaku berkenalan dengan Hazel Graze Lancaster, sang tokoh utama dalam novel tersebut. 


          Gaya bicaranya mengingatkan aku pada si Vicky, tapi dengan cara yang cerdas, tentu saja. Hazel Grace, gadis 16 tahun yang mengidap penyakit kanker itu hampir

Thursday 11 June 2015

Mari Baca

gambar: yustiemada.blogspot.com
Beberapa hari ini aku mengisi waktuku dengan membaca karya sastra, ataupun hal-hal yang berkaitan dengannya. Aku sejak dulu memang gemar membaca tapi bukan pembaca apa-saja. Pada masa-masa remaja aku menyukai komik, kemudian agak berpindah ke novel meskipun belum meninggalkan sepenuhnya bacaan komik kesukaanku. Semasa SMA, aku lebih banyak memeriksa lemari buku kawanku daripada membeli sendiri buku-buku itu. Mungkin karena pengaruh ibuku yang tidak menyukai bila uang belanjaku digunakan untuk membeli buku. Atau aku bisa bilang –dengan tetap mempertahankan sikapku sejak dulu- bahwa ini semua adalah kesalahan hidupku yang malang karena tinggal di kota kecil tanpa satupun toko buku (yang layak- hanya ada satu toko buku yang sebagian besar koleksinya adalah buku pelajaran sekolah dan buku-buku agama). 

Belajar Periode dalam Sejarah Sastra Dunia



Tulisan ini aku buat dengan tujuan yang sama seperti tulisan-tulisanku yang lainnya. Sebagai pengingat. Ingatan jangka panjangku sangat buruk. Dan menulis, kata beberapa orang adalah latihan yang baik. 

Sebagian besar dari isi tulisanku kali ini adalah terjemahan dari laman http://klasikfanda.blogspot.com pada bagian Literary Movement Reading Chalenge 2015. Aku mendapatkan penjelasan mengenai periode-periode sejarah sastra dunia pada laman tersebut dan ingin sekali merekamnya dengan baik sebagai pengetahuan yang baru (bagiku).

Jadi begini, aku sering sekali mendengar bahwa penulis “ini” merupakan salah satu penulis Modernist, misalnya, atau penulis “itu” adalah bagian era Victorian. Tapi aku sama sekali tidak tahu mengapa mereka disebut demikian. Apa saja karakteristik dari masing-masing gerakan tersebut? Dan akhirnya aku menemukan jawabannya secara utuh pada laman tersebut. 

Aku akan menuliskannya kembali di sini dalam versi Bahasa Indonesia (maafkan kelemahanku dalam upaya penerjemahan, ok?).

Post-Modernisme (1965-sekarang)

             Sastra Pos-Modern ditandai dengan ketergantungan karya mereka pada teknik-teknik seperti fragmentasi, paradoks, dan narasi yang dapat dipertanyakan. Karya pos-modern dipandang sebagai reaksi terhadap pemikiran Enlightenment dan Modernis dalam hal pendekatan mereka terhadap karya sastra. Sebuah karya sastra posmodern cenderung tidak mengakhiri kisah mereka dengan kesimpulan-kesimpulan yang mengikat, melainkan sering sekali memparodikannya. Karakteristik lain dari sastra posmodern adalah mempertanyakan perbedaan antara budaya tinggi dan rendah dengan mencampur-adukkan keduanya, sebuah kombinasi genre dan jenis yang sebelumnya dianggap tidak cocok untuk sebuah karya sastra.

Beberapa penulis Posmodern adalah:

Toni Morrison
Umberto Eco
Margaret Atwood
Kurt Vonnegut
Joseph Heller
Vladimir Nabokov
Italo Calvino
Salman Rushdie

The Bloomsbury Group (1903-1964)

                  The Bloomsbury Group adalah asosiasi informal dalam cakupan kecil yang terdiri dari artis dan intelektual yang tinggal dan bekerja di wilayah Bloomsbury di tengah Kota London. Meskipun anggotanya membantah bahwa mereka membentuk sebuah kelompok secara formal, mereka disatukan oleh keyakinan yang kuat akan pentingnya arti seni. Para anggota Bloomsbury atau yang dikenal dengan Bloomsberries, kurang lebih berusaha menjaga filosofi mereka tentang masyarakat yang ideal, bahkan ketika harus melalui perang dunia dan tiga dekade pergesekan iklim politik. Salah satu filosofi mereka adalah, hal paling utama dalam hidup adalah cinta, penciptaan dan pengalaman estetika, dan pengejaran terhadap ilmu pengetahuan.

Beberapa penulis Bloomsbury adalah:

Virginia Woolf
E.M. Forster
Giles Lytton Strachey
John Maynard Keynes
Clive Bell

The Beat Generation (1945-1965)

                The Beat Generation adalah sekelompok penulis Amerika pasca-perang dunia II yang mulai dikenal pada 1950an. Elemen sentral dari budaya “Beat” adalah penolakan terhadap standard-standard yang ada, berinovasi dalam gaya, bereksperimen dengan “obat-obatan”, seksualitas alternatif, ketertarikan terhadap agama, penolakan terhadap materialisme, dan penggambaran secara eksplisit tentang kondisi manusia. Mereka memandang kapitalisme sebagai sebuah pengrusakan jiwa manusia dan bertentangan dengan kesetaraan sosial. Gaya sastra mereka jauh lebih berani, lugas, dan ekspresif daripada yang sebelumnya.

Beberapa penulis The Beat Generation adalah:

Jack Kerouac
Allen Ginsberg
William S. Burroughs
Ken Kesey
Neal Cassady
Lawrence Ferlinghetti.

Wednesday 10 June 2015

Modernisme (1910-1965)

               Karakteristik Modernisme adalah kesadaran diri yang mematahkan gaya tradisional puisi dan kalimat. Dalam sastra Inggris, periode Modernisme utamanya merupakan reaksi terhadap budaya dan estetika era Victorian. Stabilitas dan ketenangan Era Victorian dengan cepat menjadi bagian dari masa lalu. Modernis bereksperimen dengan bentuk sastra dan ekspresi. Gerakan ini didasari pada keinginan secara sadar untuk “mematahkan” gaya representasi tradisional dan mengekspresikan perasaan yang baru terhadap era mereka.

Beberapa penulis Modernis adalah:

F. Scott Fitzgerald
Ernest Hemingway
Joseph Conrad
Virginia Woolf
D.H. Lawrence
Ezra Pound
William Faulkner
T.S. Elliot

Eksistensialisme (1850- sekarang)

              Dalam pengertian paling umum, Eksistensialisme berkaitan dengan masalah tentang bagaimana menemukan makna sebuah eksistensi. Dalam perspektif ini, tidak ada makna atau struktur apapun yang mendahului eksistensi seseorang (sesuatu), tidak seperti kepercayaan yang dianut dalam agama. Oleh karena itu, suatu individu haruslah mencari atau menciptakan makna tersebut untuk dirinya sendiri. Banyak filosofi yang berkisar pada kapasitas etika dan intelektual tak terbatas yang dimiliki seseorang untuk mengubah dunia. Seseorang haruslah menjadi ‘sesuatu’ agar hidup ini bisa memiliki arti dan tujuan.

Beberapa penulis Eksistensialisme adalah:

Simone de Beauvoir
Samuel Beckett
Friedrich Nietzsche
Fyodor Dostoyevsky
Albert Camus
Franz Kafka
Henry David Thoreau
Paul Sartre

Naturalism (1870-1920)

           Gerakan sastra ini menganggap ekspresi sebagai sesuatu yang eksklusive di dalam novel. Naturalisme berusaha untuk melangkah lebih jauh dan lebih jelas daripada Realisme dalam hal mengidentifikasi penyebab tindakan dan kepercayaan seseorang. Pemikirannya adalah faktor-faktor tertentu seperti keturunan dan kondisi sosial, keduanya merupakan penentukehidupan seseorang yang tidak dapat dipungkiri. Lingkungan, terutama lingkungan sosial, memainkan peran yang sangat besar dalam pengembangan narasi. Tema yang dominan dalam sastra Naturalis adalah bahwa manusia telah ditakdirkan untuk menuju ke “tempat-tempat”  yang telah disediakan oleh lingkungan mereka, faktor keturunan, dan kondisi sosial. Kekuatan emosi primitif yang bermaksud meniadakan akal manusia juga menjadi elemen berulang. Naturalis hanya memandang dunia sebagaiamana adanya, baik ataupun buruk.

Beberapa penulis Naturalis adalah:

Emile Zola
Edith Wharton
Frank Norris
Jack London
Stephen Crane

Realisme (1820-1920)

       Realisme berkaitan dengan usaha untuk menghadirkan dengan akurat orang-orang dan situasi sehari-hari mereka. Hal ini merupakan reaksi terhadap romantisme. Novel-novel realis sangat-sangat dipengaruhi oleh penggunaan teknik jurnalistik, yakni dalam hal objektivitas, dan berpegang teguh pada fakta-fakta atas suatu masalah. Alih-alih mempedulikan kejadian-kejadian besar, tragedi, atau bagaimana sebuah peristiwa berbalik, novel realis berusaha keras untuk tidak terpengaruh dengan keadaan-keadaan eksternal.  Mereka berkeyakinan bahwa fungsi novel hanya untuk melaporkan apa yang terjadi, tanpa komentar ataupun penilaian.

Beberapa penulis Realisme adalah:

Honore de Balzac (the Human Comedy Series)
Henry James (The Potrait of a Lady/daisy Miller)
Mark Twain (Huckleberry Finn)
Gustave Falubert (Madame Bovary)

Victorian (1837-1901)

          Novel-novel era Victorian cenderung merupakan potret ideal dari kehidupan yang sulit dimana kerja keras, ketekunan, cinta dan keberuntungan pada akhirnya menang. Kebajikan akan dihargai dan kejahatan akan memperoleh hukuman. Novel-novel tersebut cenderung berisikan pelajaran moral. Bagi sebagian besar pemikir dan penulis pada masa itu, ketimpangan yang hadir pada masyarakat Victorian merupakan sejenis penyakit yang lambat laun akan sampai pada titik kritis dan karenanya harus diungkapkan secara lantang. Banyak intelektual pada masa itu yang menganggap hal tersebut adalah tanggungjawab pribadi mereka. Banyak penulis dan pemikir perempuan pada masa ini juga menitikberatkan tema mereka pada filosofi tentang emansipasi wanita.

Beberapa penulis Victorian adalah:

Charles Dickens
William Thackeray
The Bronte Sisters
George Elliot
Thomas Hardy
George Bernard Shaw
Oscar Wilde
Sir Arthur Conan Doyle
Rudyard Kipling
Robert Louis Stevenson

Transendentalisme (1830-1860)

          Para penganut Transendentalisme percaya bahwa pengetahuan bisa diraih bukan hanya melalui indera, tetapi juga melalui intuisi dan perenungan. Dengan demikian, mereka mengaku bersikap skeptis terhadap semua agama dan percaya bahwa sifat keilahian terletak pada diri manusia itu sendiri. Menurut mereka, masyarakat dan institusinya-utamanya agama dan partai politik yang terorganisir- merusak kemurnian seseorang. Mereka berkeyakinan bahwa orang-orang akan berada pada kondisi terbaiknya bila mereka benar-benar mandiri. Transendentalis juga percaya bahwa manusia harus lebih memperhatikan hal-hal menyangkut batin dan jiwa mereka dibandingkan hal-hal “dangkal” seperti kekayaan, status, dan lain sebagainya.

Beberapa penulis Transendentalis adalah:

Ralph Waldo Emerson
Henry David Thoreau
Margaret Fuller
Amos Bronson Alcott
Emily Dickinson

Romantisme (1798-1870)

         Romantisme lebih mementingkan individual daripada kondisi sosial. Kesadaran individual, khususnya imajinasi individual sangat menarik bagi penganut Romantisme. “Melankolis” menjadi kata kunci bagi para penyair Romantis. Hal tersebut sekaligus merendahkan daya nalar, dan sengat jelas sebagai bentuk reaksi terhadap pemikiran Enlightenment. Di atas itu semua, terdapat kualitas mistik pada tulisan-tulisan Era romantis yang membedakannya dengan periode-periode lain.

Beberapa penulis Romantisme adalah:

Sir Walter Scott
Henry Wadsworth Longfellow
Mary Shelley
Edgar Allan Poe
Nathaniel Hawthorne
Herman Melville
Walt Whitman
John Keats
Alexandre Dumas

Enlightenment (1700-1800)

            Era Enlightenment (Pencerahan) adalah sebuah gerakan kultural dari para intelektual Eropa yang dimulai pada akhir abad 17 dengan menekankan lebih kepada akal pikiran dan individualisme daripada tradisi. Tujuannya adalah untuk membentuk kembali masyarakat menggunakan akal, menantang ide-ide yang mengakar pada tradisi dan kepercayaan, dan mengembangkan pengetahuan melalui metodde scientific. Para pemikir Enlightenment menentang takjayul dan intoleran. Enlightenment pada sastra mengeksporasi tema-tema tentang pergolakan sosial, pembalikan status sosial, satir politik, eksporasi geografis, dan pembandingan antara bagaimana sifat alami manusia dan bagaimana seharusnya sebagai seorang manusia yang beradab. Era Enlightenment adalah era perayaan terhadap ide-ide- yakni ide tentang sejauh mana kemampuan pikiran manusia dan apa yang dapat dicapai oleh sebuah tindakan yang disengaja dan metodologi science.

Beberapa penulis Era Enlightenment adalah:
Daniel Defoe
Voltaire
Denis Diderot
Jonathan Swift
Goethe
Samuel Richardson
Olivia Goldsmith
Henry Fielding

Renaissance (1500-1670)

         Meskipun yang terkenal di antara para pelajar adalah Renaissance Italia, tapi karya-karya sastra renaissance Inggris menyaingi segala hal lain pada periode tersebut. Selama masa 1500-1660, Renaissance Inggris menghasilkan karya-karya sastra terbaik yang diketahui dunia. Semangat optimisme, potensi tak terbatas, dan karakter Bahasa Ingris yang tabah, menempatkan karya sastra sebagai priooritas. Pada waktu yang sama, Bangsa Inggris berhasil meninggalkan kesan “barbarian” menjadi sebuah bangsa yang memiliki kekuatan ekonomi dan pengaruh. Kekuatan ini secara alami dituangkan ke dalam karya-karya sastra yang tegas, luas, inovatif, dan menciptakan tren. Puisi-puisi yang dihasilkan bereksperimen dengan bentuk dan menghidupkan kembali tradisi klasik yunani dan Roma.

Beberapa penulis era Renaissance:
William Shakespeare
Christopher Marlowe
John Milton
Sir Thomas More
Niccolo Machiavelli

Medieval/Middle Age (500-1500)

                Sastra pada masa Middle Age (Medieval) ini didominasi oleh karya-karya teologis-religius. Penulis-penulis masa ini sangat menghormati pastur gereja dan cenderung menceritakan kembali cerita-cerita yang telah mereka dengar/baca dan memperindahnya.

Beberapa penulis era Medieval:
Geoffrey Chaucer
Penulis Beowulf
Thomas Malory
St Augustine Hyppo
Dante Alighieri
Thomas Aquinas

Monday 8 June 2015

[Book Review] The Phantom of The Opera: Si Buruk Rupa yang Berkenalan dengan Cinta



gambar: bukubekas.blogspot.com


Judul                    : The Phantom of the Opera
Penulis                  : Gaston Leroux
Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman     : 376 halaman

Eric, sang hantu opera, adalah seorang yang buruk rupa dan menyimpan dendam  teramat dalam pada semua orang. Kebencian dan dendamnya berasal dari penolakan dan pandangan jijik orang-orang yang ditujukan terhdapnya. Bahkan oleh orang tuanya sendiri. Bahkan topeng pertama yang dikenakannya adalah pemberian sang ibu.

Ya, Eric memang digambarkan sebagai si buruk rupa yang selalu mengenakan topeng dan berdiam di sebuah gedung opera. Tapi tuhan bersikap adil kepadanya dengan menganugerahinya kejeniusan yang luar biasa. Berbagai macam trik disiapkannya di dalam gedung opera, sehingga hampir semua orang percaya bahwa hantu opera memang ada. Kejeniusannya pulalah yang membuatnya dengan mudah melakukan pemerasan pada pengelola gedung opera dan mendapatkan uang melalui itu.