Thursday 24 March 2016

[MOVIE] Cloud Atlas: Berani Keluar dari Rasa Nyamanmu?

       Sudah berapa lama sejak terakhir kali kalian menonton film yang membingungkan? Kalau sudah lama, sebaiknya kalian mulai lagi menonton jenis film semacam itu dengan film ini. Cloud Atlas. Saat seseorang merekomendasikan film ini saja, dia sampai merasa perlu berkata, “Saya baru paham film ini setelah menonton yang kesekian kalinya.” Film yang memiliki enam setting waktu berbeda ini menurutku sangat inspiratif tapi dengan cara yang membingungkan.

           Mari kita urai sedikit tentang keenam setting di film ini. Setting pertama adalah Pacific Selatan pada 1850, tentang seorang pengacara yang dikhianati orang kepercayaannya dan justru diselamatkan oleh seorang budak yang baru ia kenal. Setting kedua bertempat di Scotlandia pertengahan 1930an, tentang seorang musisi gay muda yang jenius dan mulai mencari pengakuan dengan bekerja pada seorang musisi ternama saat itu. Yang ketiga, 2012, bercerita tentang seorang pengusaha penerbitan yang tiba-tiba menjadi kaya dengan menjual buku memoar seorang penjahat Irlandia tanpa royalti yang layak. Untuk menyelamatkan dia yang dikejar-kejar oleh penjahat tersebut (demi royalti yang layak), sang adik memasukkannya ke sebuah tempat yang awal mulanya ia anggap hotel namun ternyata adalah panti jompo dengan pengamanan yang sangat ketat.

          Set keempat di tahun 1973 dimana ceritanya berpusat pada seorang wartawan investigatif (Halle Berry) yang berusaha mengetahui konspirasi konglomerat yang mengancam dunia. Setting kelima yakni di masa depan, tahun 2146, berlokasi di sebuah kota bernama Brave New Seoul. Masa dimana manusia banyak membuat kloning-kloning hanya untuk digunakan sebagai pelayan/pekerja. Sedangkan setting yang terakhir adalah masa post-apokaliptus di masa depan yang bercerita tentang seorang pria bernama Zachary (Tom Hanks) yang berada di tengah-tengah kelompok yang beradab bahkan ketika mereka dikelilingi oleh para barbar yang kanibal.

        Cloud Atlas adalah film adaptasi dari novel karangan David Mitchell yang kemudian disutradarai oleh Tom Twyker dan The Wachowski. Dengan enam latar waktu yang berbeda-beda ini, kamu bayangkan saja pikiranmu dibawa berjalan-jalan menggunakan rolller coaster waktu. Pada awalnya aku menebak bahwa masing-masing setting di film ini bukan merupakan setting waktu yang berbeda melainkan dunia yang berbeda. Semacam dunia paralel seperti pada film The One yang dibintangi Jet Li.

          Tapi kemudian hipotesisku ini terpatahkan oleh adanya koneksi linier dalam setting waktu yang berbeda seperti antara setting waktu si musisi gay (1930an) dengan setting waktu si wartawan (Halle Berry), 1973. Pada kedua setting waktu berbeda tersebut, kekasih si musisi gay harus mati  di masa depan yang membuat si wartawan menggali lebih jauh tentang kehidupan pribadinya yang kemudian membawanya bertemu dengan musik yang dikomposisi oleh si musisi gay tersebut. 

         Well, di pertengahan film, aku mulai berhenti menebak-nebak. Buat apa memperumit diri sendiri bukan? Aku nikmati saja filmnya. Menikmati bagaimana hampir di setiap setting berbeda tersebut, kamu akan menemukan orang-orang yang berjuang untuk “keluar” dan melawan dunia sekitarnya. Si musisi gay yang berhasil lepas dari musisi tua yang memanfaatkan talentanya. Si manusia kloning yang melakukan perlawanan terhadap manusia yang menganggap mereka tak lebih dari sekedar objek kumpulan protein semata. Si manusia era post-apokaliptus yang bertempur melawan takhayul dan pikiran pribadinya. Si pengacara yang keluar dari zona nyaman dan memutuskan menjadi pembela kalangan afro-america. Si wartawan yang melawan konspirasi politik. Atau si penerbit tua yang lolos dari cengkeraman si adik dan panti jompo yang dikelolanya. 

         Dan di akhir film ini, sebingung apapun kamu telah dibikinnya. Kamu akan mulai lagi bertanya. Hari ini, kenyamanan macam apa yang telah kamu lawan?
         Mari nonton.

Friday 4 March 2016

[MOVIE] Interstellar: Dimana Tempatmu Diantara Bintang-Bintang?

             Direkomendasikan oleh seseorang, aku memilih menonton film ini lebih dulu daripada film yang paling disarankannya. Entahlah, rasanya sudah lama tidak menonton film seperti ini. Maklum, aku sibuk (buahahaha).

           Interstellar merupakan film besutan Christoper Nolan yang juga merangkap sebagai penulis bersama Jonathan Nolan. Dibintangi oleh  Matthew McConaughey sebagai Cooper,  Anne Hathaway  sebagai Amelia Brand, Michael Caine ( Prof. Brand) dan Jessica Chastain (sebagai Murphy dewasa). Selain itu ada juga  Mackenzie Foy sebagai Murphy kecil. Film ini adalah film sci-fi yang heart-taking mengingat aku hampir tidak meninggalkan tempat dudukku sepanjang film ini kuputar.

         Jadi, ceritanya, di masa yang akan datang, bumi sudah mulai sekarat (dalam artian yang sebenarnya). Penyakit tanaman merajalela sehingga mengakibatkan krisis makanan terjadi. 

“We used to look up and wonder about our place in the stars,” Cooper grumbles. “Now we just look down and worry about our place in the dirt.”

 Di sinilah, misi rahasia NASA dilakukan dalam rangka menemukan planet baru pengganti planet bumi. Misi luar angkasa yang dipimpin oleh Cooper ini harus bertarung dengan waktu. Relativitas waktu membuat setiap detik yang mereka lalui di luar angkasa sana sangat berharga, apalagi misi pribadi Cooper adalah menyelamatkan anak-anaknya dari bumi yang sudah tidak bisa ditolong lagi. Semakin banyak waktu yang terbuang, maka bisa jadi anak-anaknya justru telah menua dan mati.

           Sepanjang film yang berdurasi hampir 3 jam ini, perasaan kita turut kacau-balau memikirkan mampu-tidaknya seorang ayah memenuhi misinya. Apalagi dengan konflik yang terjadi dengan si anak yang merasa ditinggalkan. Belum lagi tentang pengkhianatan terencana oleh salah satu astronot pendahulu mereka. Beh. Kacau alam pikiran dibuatnya. Selain itu, hal mengagumkan lain adalah, terlepas dari bahwa ini kisah fiksi, rasa-rasanya tidak ada logika yang tidak masuk akal di film ini (khas Nolan).

Nolan, sang sutradara tampaknya adalah seorang ideolog tulen, visioner, dan pemimpi kelas berat. Sebagai penonton, aku membayangkan bagaimana ide film ini ditemukan. Misalkan saja Bang Nolan sedang guyon sama Nolan lainnya (kedua-duanya bekerja sama sebagai penulis),

“Oi, Bro. Aku lagi bored nih. Kita bikin film yuk?”
“Aku sih ayo-ayo aja. Tapi film tentang apa Kangmas?”
“Kamu tahu reltivitas waktu kan?”
“Tahu, Kangmas.”
“Gravitasi?”
“Tahulah dikit-dikit, Kang.  Dulu sempat bolos sih pas pelajaran itu.”
“Oh, jadi dulu kamu suka bolos sekolah?”
PLAK! (dan cerita berakhir dengan sebuah tamparan)
-_-
Apa sih....

           Haish.. jadi intinya, film ini membuat aku menangis. Tiga kali. Tentu saja itu bukan indikator bagus-tidaknya sebuah film. Aku cuma pengen bilang. Aku tidak mau menangis sendirian, juga tidak ingin hanya aku yang mengagumi si Murphy, atau sendiri merasa istimewa diperlihatkan imajinasi sang Sutradara dan Penulis tentang Lubang Hitam. So, ayo download filmnya, tonton, dan kita bahas sama-sama.

Thursday 3 March 2016

[Movie] 12 Angry Men: Ketika Nyawa Seseorang di Tanganmu

            Film klasik produksi tahun 1957. Film ini menceritakan 12 orang hakim juri yang tengah berdiskusi dalam rangka mengambil keputusan terkait bersalah-tidaknya seorang anak 18 tahun atas pembunuhan ayahnya. Pembunuhan tingkat pertama. Saat itu, hukumannya adalah hukuman mati. Maka, jika kedua-belas hakim juri memutuskan “bersalah”, si anak akan berakhir mati di kursi listrik.

        Hampir seluruh bukti dan kesaksian mengarah pada “bersalah”nya si anak. Dan terbukti, saat pertama kali hakim juri mengambil suara (di sebuah ruang tertutup), suara yang terkumpul adalah 11 : 1 untuk “bersalah”. Hanya ada satu orang saja. Yang bukannya betul-betul menganggap bahwa anak itu tidak bersalah. Tapi merasa ada banyak keraguan-keraguan terkait apa yang dipaparkan dalam persidangan. Keraguan-keraguan yang tidak layak diabaikan dan kemudian mengorbankan satu nyawa.

         Satu suara yang berbeda sendiri ini membuat beberapa juri lain menjadi berang. Ada 12 orang di dalam ruangan terkunci dalam kondisi cuaca “gerah sebelum hujan” (aku tidak tahu kalian memahami frase ini atau tidak). Kedua-belas orang yang berbeda latar belakang pekerjaan; pembuat jam, pialang saham, pembuat iklan, arsitek, dan sebagainya, yang  menjadi juri hanya karena panggilan melalui surat. Karena satu suara “berbeda”, orang-orang ini teraduk-aduk emosi dan logikanya untuk sebuah keputusan hidup dan mati.
         
       Oke, sampai di situ saja spoilernya. Film hitam-putih ini, 98%-nya hanya berlatar tempat di satu ruangan tertutup dimana mereka melakukan proses pengambilan keputusan itu. Menakjubkan bagaimana dalam satu latar saja, emosi kita sebagai penonton dapat ikut terbawa mengikuti plot cerita dan konflik yang kemudian terbangun. Sebelum menonton film ini, aku membayangkan dua jam menonton film yang hanya bertempat di satu lokasi saja. Tanpa narasi dan detail yang kuat atau unsur apapun lainnya yang dimiliki oleh film ini, pastilah sangat membosankan. 

        Disutradarai oleh Sidney Lumet, naskah oleh Reginald Rose. Oh, dan tentu saja tak kalah penting si kameramen keren Boris Kaufman. Kerjasama ketiganya membuat film ini menjadi cemerlang bahkan dengan ide drama sederhananya. Kuatnya narasi yang dibangun Rose dan karakter yang meyakinkan serta sangat natural yang dimainkan oleh para aktor membuat film ini menjadi asik yang tidak boleh dilewatkan para pecinta film.

         Dan, sebagaimana setiap review film yang aku tulis. Aku ingin mengingatkan bahwa aku bukan pengamat film, murni subjektif pribadi tanpa embel-embel teori. Jika suka, mari download filmnya, nonton, dan kita bahas sama-sama. :)