Sunday 29 November 2015

[MOVIE] The Godfather: Film Bunuh-Bunuhan tentang Keluarga

Michael Corleone merupakan anak dari Don salah satu kelompok mafia besar di Amerika. Ia dijuluki “college student” oleh keluarganya karena ia merupakan satu-satunya anak Vito Corleone yang tidak ingin mencampuri bisnis keluarga dan hanya menjadi seorang sipil biasa. Ayahnya tetap bangga dengan Michael yang seperti itu.

Namun satu kejadian membuat Michael yang terkenal “anak baik-baik” itu harus turun tangan membantu keluarganya. Ayahnya nyaris terbunuh. Dan tidak ada yang dapat lebih memaksa Michael untuk mengambil sikap, selain dari keselamatan keluarganya. Akhirnya Michael pun ikut membunuh. Hal ini kemudian berlanjut membuat Michael harus menjadi Don selanjutnya di kelompok itu, apalagi setelah kakaknya menjadi salah satu korban yang tewas dalam peperangan yang berlangsung antar kelompok mafia.

Sebagai seorang pecinta buku aku merasa sedih karena belum membaca versi novelnya. Dan sebagai penikmat film, aku merasa sangat menyesal karena aku selalu menghindari untuk menonton film ini sejak dulu, hingga akhirnya aku menontonnya di Tahun 2015 ini (43 tahun sejak dirilisnya film ini).

Film ini merupakan film besutan sutradara Francis Ford Coppola yang diangkat dari novel Bestseller Mario Puzo. Mengambil latar di Amerika, film ini berpusat pada kelompok kelarga Corleone yang keturunan Italia.

The Godfather membuat aku jatuh cinta pada keseluruhan filmnya. Aku tidak tahu apakah itu karena cinematorafinya, akting para pemainnya, musik, atau hal-hal lainnya, yang jelas film itu sangat memukau bahkan untuk ukuran film panjang, 2 jam 48 menit) film itu tidak membuatku bosan.

Film ini membuat kita serasa menyatu dengan keluarga Corleone, yang bahkan saat ia membunuh pun kita turut membenarkannya. Kita menjadi prihatin saat si “anak baik-baik” Michael harus juga ikut menjalankan bisnis keluarga. Tapi tentu saja dia harus! Siapa yang mampu berpaling dari ayah macam Vito Corleone? Yah, terlepas dari pembunuhan yang sering ia lakukan, ia adalah seorang “Godfather” yang sangat menjunjung tinggi nilai keluarga dan setiakawan dalam kelompoknya.

Vito Corleone, sang Godfather, masih harus terbaring lemah setelah insiden penembakannya. Ia menjadi penasihat bagi Michael yang menjadi Don baru. Kamu melihat seorang ayah dan seorang pemimpin besar dalam dirinya. Seorang pemimpin besar menurutku dinilai dari bagaimana cara ia mempersiapkan penerusnya. Dan ia berhasil melakukan itu, mempersiapkan Michael yang awalnya sulit mendapatkan kepercayaan para anggota kelompoknya menjadi seorang pemimpin kelompok yang disegani (atau ditakuti?).

Film ini film bunuh-bunuhan. Tapi haruskah aku sebut film keluarga juga? Karena ya, Vito Corleone juga mengajarkan cara menyayangi keluarga.
“Jika seorang lelaki tidak menghabiskan waktu bersama keluarga maka ia bukanlah lelaki sejati.”
Kakak Michael, Sonny, tewas dalam perjalanannya menyusul sang adik perempuan yang disiksa oleh suaminya. Vito Corleone pun hampir serupa, meski bukan dibunuh, ia tewas saat tengah bermain-main dengan cucunya, anak Michael.

Well, aku yakin ada banyak orang yang telah menonton film ini. Film ini sangat terkenal dan telah mengambil tempat di hati banyak orang. Jadi dalam review kali ini aku tidak akan membahas satu pun kekurangannya (lagian aku bukan pengamat perfilman juga sih :P).

Nonton lagi yuk! :)


Friday 27 November 2015

[Movie] Cinema Paradiso: Film Klasik Wajib Tonton

Cinema Paradiso ini merupakan film yang diproduksi tahun 1988. Film Italia yang memakai judul  Nuovo Cinema Paradiso di negeri asalnya ini disutradarai oleh Giuseppe Tornatore. Gak kenal? iya, aku juga. Film ini berkisah tentang seorang anak bernama Toto yang jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada bioskop dan film.
Toto, merupakan anak berperawakan kecil yang menurut standarku, sangat nakal. Well, sangat cerdik tepatnya. Dan pintar? hmm.. iya, pintar juga. Ia menggunakan kepintarannya itu untuk mendapatkan izin memasuki ruang pemutar proyektor di bioskop "Cinema Paradiso". Dengan segala cara, ia akhirnya dapat membuat Salvatore (pengoperasi proyektor di bioskop itu) mengajarinya cara mengoperasikan proyektor dan segala hal yang berkaitan dengan itu.

Para warga di kampung kecil itu sangat menyukai film tapi tentu saja tidak semua orang dapat membayar. Jadi scene paling membahagiakan dalam film ini menurutku adalah saat Salvatore memproyeksikan filmnya ke luar gedung bioskop agar dapat ditonton oleh mereka yang ditolak masuk bioskop. What a scene! Yah, meskipun kebahagian tersebut berakhir tragis (langsung tonton aja!).

Film ini menggunakan alur mundur-maju, dimana Toto dewasa telah menjadi seorang sutradara sukses yang mengingat lagi masa kecilnya. Salvatore meninggal, dan ia harus pulang. Kembali ke kampung halamannya yang telah ia tinggalkan selama 30 tahun.

Aku sangat menyukai film ini. Penyebabnya agak sulit kuceritakan. Yang jelas film ini sangat manis. Seorang anak kecil yang telah tahu apa yang ingin dilakukannya (kesan yang ditimbulkannya mirip dengan film Augustus Rush). Sebagai penonton, pasti akan dapat merasakan bagaimana besar kecintaan Toto pada film. Selain itu juga, karena ini film klasik, kita masih dapat menemukan kisah tentang guru Toto yang membenturkan kepala muridnya ke papan tulis karena tidak mampu menghapal perkalian (scene ini bikin senyum-senyum sendiri).

Dan after all, aku cuma mau ngajak kalian semua buat menikmati film ini. Mari Nonton. :)





Friday 20 November 2015

[Book] Kota kertas

John Green. Aku berkenalan pertama kali dengannya melalui The Fault in Our Stars. Setelah itu aku jatuh cinta dengan penulis satu ini. Karena itu aku beli pula buku-buku lain yang ia tulis.

Kali ini aku akan sedikit membahas pengalamanku berselancar di dunia "Paper Town". Buku John Green kedua yang aku baca.

Di buku ini ia bercerita tentang seorang gadis populer bernama Margo dan seorang teman masa kecilnya yang tumbuh menjadi remaja tak-populer, Quentin.

Meski sudah tak akrab lagi setelah insiden masa kecil mereka, dimana mereka menemukan sesosok mayat, pada hari itu mereka menghabiskan malam bersama untuk melakukan "proyek balas dendam" Margo. Quentin pada akhirnya menjadi satu-satunya orang yang Margo inginkan untuk melakukan hal itu bersama-sama.

Hari setelah malam itu, Margo menghilang. Pergi dari rumahnya. Bukan hal yang baru, tapi kali ini Quentin merasa Margo pergi untuk selamanya. Sejak saat itu, Quentin memulai pencariannya. Dan ia mulai menemukan Margo-Margo baru setiap saat. Sisi yang tidak dikenalnya dari Margo yang selama ini dibayangkan. Hingga akhirnya ia berkesimpulan.

"Margo bukan keajaiban. Dia bukan petualangan. Dia bukan sosok yang luar biasa dan berharga. Dia hanya seorang gadis."

Kota kertas. Merupakan istilah yang digunakan Margo untuk menunjukkan betapa rapuh dan palsunya kota-kota yang dipenuhi orang-orang "kertas". Orang-orang yang melakukan rutinitasnya. Melupakan cara menjadi dirinya sendiri. Menyukai apa yang disukai orang lain.  Mengejar apa yang setiap orang kejar. Margo merasa bahkan dirinya telah berubah menjadi salah satu perempuan kertas.

Betapa buku ini penuh dengan perenungan dengan cara yang unik. A la John Green tentu saja. Ke-vickynisasi-annya belum hilang.

Dan bila ada temanku yang menanyakan novel ini berkisah tentang apa. Aku hanya bisa menjawab "Kota Kertas".  Mari Baca ^.^