Dunia
mahasiswa sangat lekat dengan dunia pergerakan. Selayaknya julukan tenar yang
dimiliki oleh mahasiswa yakni agent of
change, kita tentunya juga tahu bahwa perubahan, change, tidak akan dapat tercapai tanpa melalui sebuah pergerakan. Meski
banyak yang beranggapan bahwa dunia pergerakan
Sunday 4 November 2012
Monday 25 June 2012
Manusia Randu
Sobekan kertas yang kaucecer pagi tadi
telah kutenggelamkan
Ada banyak nama disana
mungkin
namamu (semua)
yang membentukmu jadi manusia
bertubuh randu
Aku Menamainya Namamu
Aku menamainya namamu yang kaubenci
Yang sayup kauserapahi pada puncak malam
Dan kauselipkan pada rapal tak berkesudahan
Friday 25 May 2012
Suara Larimu Menggema
Suara larimu menggema
Berbaur uap kopi
yang dihabiskannya pergi
Ada cincin emas terseok menyelamatkan
diri
dan tumpukan baju dalam almari
Sambal Jeruk
Biji tomat menyambutku
di batas pintu
“aku tak diulek tangan wanita,”
(Book Review) Karnak Café: Apapun yang Terbaik yang Dipilihkan Tuhan
(Book Review) Lolita: Peri Asmara Humbert Humbert
Thursday 24 May 2012
Dunia Sastra NTB Butuh Penghargaan Bukan Peraturan
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB)
“Pembiasaan
paksa” tampaknya telah menjadi menjadi langkah yang sering diambil oleh
pemerintah saat ini. Pemda NTB pun tampaknya kesemsem dengan langkah yang sama.
Membaca karya-karya sastra kini dipaksakan menjadi kebiasaan wajib para peserta didik di semua jenjang pendidikan di NTB.
Membaca karya-karya sastra kini dipaksakan menjadi kebiasaan wajib para peserta didik di semua jenjang pendidikan di NTB.
Akhir-akhir
ini santer terdengar rencana terbitnya peraturan gubernur (pergub) yang
mewajibkan murid-murid di seluruh jenjang pendidikan, SD-SMA, untuk membaca
sastra. Penulis memanglah bukan orang yang berkecimpung di dunia sastra. Namun
dari kacamata seorang awam, penulis ingin menyampaikan keresahannya terhadap pergub
ini.
Ketika
mengetahui tentang rencana akan terbitnya pergub ini, penulis teringat ketika
menyaksikan berita tv beberapa tahun lalu. Isi beritanya yaitu pergub yang
mengatur hari tertentu sebagai hari berbahasa daerah di sekolah. Saat itu,
penulis tertawa terbahak-bahak.
Persis
seperti itulah kejadiannya ketika mendengar rencana adanya pergub mengenai
kewajiban membaca sastra tersebut. Penulis membayangkan bagaimana rasanya jika
suatu saat nanti akan terbit pula pergub yang mewajibkan setiap rumah untuk
menggunakan toilet duduk, alih-alih toilet jongkok?
Yang
ingin penulis katakan adalah pergub-pergub yang pemerintah atur akhir-akhir ini
telah jauh melewati batas privat warga negaranya. Di Aceh, para pegawai negeri
“dipaksa” untuk sholat berjamaah karena telah ada peraturannya. Di Mataram,
seorang adik yang masih duduk di bangku kelas 6 SD “dipaksa” mengenakan jilbab
ke sekolah karena telah ada peraturannya. Hubungan kita dengan Tuhan sudah
diformalkan. Kini, sastra yang menjadi jembatan hubungan antara kita dengan
jiwa kita sendiripun harus diformalkan pula. Alangkah lucunya negeri ini.
Beberapa
mengatakan bahwa budaya bangsa ini adalah dipaksa dulu baru berbuat. Budaya
yang salah ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan pemaksaan-pemaksaan
yang over melalui pergub-pergub yang over pula.
Pemaksaan
itu toh akan mengurangi nilai dari kecintaan terhadap sastra itu sendiri.
Apalagi di tengah pola pikir peserta didik saat ini yang terbangun secara
sistemik agar berorientasi pada nilai dan kelulusan. Hal ini kemudian tidak
menyisakan ruang untuk menjiwai dan mencintai sebuah subjek pelajaran, sastra
ataupun yang lainnya. Sistem yang menciptakan pola pikir seperti itulah yang
seharusnya lebih dulu diubah. Baru kemudian memperumit diri dengan membentuk pergub
dan merelakan biaya besar dalam pembentukannya.
Cara-cara
pemaksaan seperti itu hanyalah jalan pintas yang ingin diambil oleh pemerintah
dalam rangka menunjukkan kepeduliannya pada minat baca dan kesastraan NTB.
Pemerintah lebih memilih menerbitkan suatu pergub daripada pemrosesan
penciptaan iklim yang kondusif bagi dunia sastra daerah kita yang mungkin akan
membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya agar dapat dikatakan berhasil.
Jika
pergub mengenai kewajiban membaca sastra ini kemudian dianggap sebagai sebuah
apresiasi dari pemerintah terhadap dunia sastra, maka mengapa tidak pemerintah
melakukan hal-hal positif yang berangkat dari budaya yang berbeda (bukan budaya
dipaksa dulu). Pemerintah, khususnya Pemda
NTB, dapat berangkat dari budaya masyarakat yang lain. Seperti kecintaan akan pengakuan dan penghargaan. Atau
kecintaan masyarakat akan uang di tengah kondisi kehidupan yang sulit.
Cara
ini terbukti sukses diterapkan di Malaysia. Pemerintahnya memberikan
penghargaan yang cukup tinggi bagi sapa saja yang unggul di bidang sastra.
Hadiah yang diberikan sungguh menarik, yakni surat penghargaan negara, uang
tunai 30.000 ringgit, diberikan kemudahan dalam menerbitkan karya-karyanya,
pembelian 50.000 eksemplar karyanya oleh negara, memperoleh pengobatan gratis,
serta karyanya yang sesuai akan diprioritaskan untuk diterjemahkan ke dalam
bahasa asing. Tidak perlu melihat jumlahnya. Yang perlu dicontoh adalah
keseriusan pemerintahnya menghargai kesastraan itu sendiri.
Di
NTB sendiri, sangat sulit kita temukan hal yang demikian. Sastrawan-sastrawan
kita seringkali berjuang sendirian untuk menerbitkan hasil karyanya. Usaha
untuk memajukan dunia sastrapun dilakukan secara swadaya dan swadana, tanpa
bantuan pemerintah. Apahjagah institute yang digawangi oleh Abdul Latief
Apriaman dkk misalnya. Apahjagah institute berkeliling pulau Lombok dengan
program Sabtu Sastra nya dan berusaha menarik minat mereka-mereka yang
mencintai sastra (dalam hal ini puisi). Karya-karya para pengunjung yang
dibacakan dalam acara itu akan diterbitkan dalam sebuah buku antologi puisi.
Ironisnya, diterbitkan secara swadana.
Penulis
tidak bermaksud untuk merendahkan niat tulus para sastrawan daerah kita untuk
memajukan dunia sastra. Hanya saja, peran pemerintah untuk mendukungnya perlu
diperjelas. Memberikan ruang penghargaan sebesar-besarnya terhadap para pegiat
sastra akan menjadi sesuatu yang agaknya lebih baik daripada sekedar melakukan
pemaksaan membaca sastra yang diharapkan akan menumbuhkan kecintaan.
Tanpa
perlu dibuatkan sebuah pergub pun, pada kenyataannya ada banyak siswa yang
menyukai bacaan sastra dan dunia penulisan sastra. Hanya saja, kecintaan mereka
terhadap sastra seringkali mereka tinggalkan atau hanya dijadikan sampingan
demi untuk mengejar cita-cita yang lebih memiliki nilai tawar di mata
orangtuanya. Pilihan untuk bergelut di dunia sastra apalagi di NTB bukanlah
sebuah hal yang mudah. Butuh kebulatan tekad yang kuat dan keberanian yang
besar.
Terkait
rendahnya minat terhadap bacaan sastra tentunya akan meningkat jika karya
sastra telah bertaburan dimana-mana akibat geliat penulis sastra yang tinggi.
Apalagi jika harga bukunya cukup terjangkau kerena proses penerbitan yang
memperoleh bantuan dari pemerintah.
Oleh
karenanya, pemerintah seharusnya berhenti menggunakan cara-cara formal untuk
sesuatu hal yang berkaitan dengan minat dan kecintaan seperti ini. Biarkanlah sastra
memiliki ruang apresiasinya sendiri yang bebas dan dipenuhi oleh kesuka-relaan
hati. Karena hanya apa-apa yang dilandaskan akan kesuka-relaan hati lah yang
terbukti akan terus bertahan.
Saturday 12 May 2012
(Book Review) Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis: Pecahkan Gelasnya!
Thursday 5 April 2012
(Book Review) Sang Alkemis: Menyerah Bukan Pilihan
Sunday 1 April 2012
Pemuda dan Membaca Bersama-Sama Membangun Bangsa
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB.)
Pemuda saat ini menjadi miskin karya karena jarang membaca. Sebagaimana slogan-slogan yang ditulis di dinding sekolah semasa SD dulu, kenyataannya memanglah benar bahwa buku adalah jendela dunia. Dengan membuka dan membaca buku, maka telah terbuka pula jendela dunia itu. Ketika pemuda menjadi malas membaca maka tak ada lagi yang bisa diharapkan.
Tidak
ada satupun orang sukses di dunia ini yang meraih kesuksesannya tanpa membaca. Mereka
yang jarang membaca ibarat katak dalam tempurung dan tidak ada katak dalam
tempurung yang dapat memajukan kehidupannya paling tidak satu langkah dari
rekan-rekannya.
Membaca,
hingga kini, masih menjadi hobi yang mendapatkan decak kagum orang lain ketika
mendengarnya. Hal ini berarti, alih-alih menganggap membaca adalah sebuah hal
yang lumrah dan menjadi keharusan, ia justru dianggap sebuah hal yang wah.
Apalagi
kalau bukan karena masyarakat Indonesia memang belum cukup memiliki kesadaran
akan pentingnya membaca. Bilapun ada kesadaran itu dimiliki, harga buku yang
tinggi membuat hobi membaca menjadi hobi yang mahal.
Bangsa
Indonesia pernah menjadi sorotan internasional karena memiliki minat baca
penduduk terendah ketiga di Asia (UNDP 2009). Sedangkan minat baca siswa yang
disebut-sebut sebagai tunas-tunas muda bangsa masih menempati posisi 57 dari 65
negara di dunia (PISA 2009).
Cukup
banyak memang faktor yang menciptakan angka-angka di atas. Tapi kali ini,
penulis ingin menekankan pada harga buku yang masih mengagetkan calon pembeli,
khusunya para pemuda yang bisa saja langsung dibunuh keinginan membacanya. Penulis sendiri merupakan salah satu
yang seringkali hanya membeli buku ketika ada obral buku atau diskon besar-besaran
cuci gudang.
Menurut
keputusan menteri keuangan Nomor 10/KMK.04/2001, buku pelajaran
umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama seharusnya tidak dikenai pajak
bila mendapatkan rekomendasi dari kementerian terkait. Buku-buku jenis lain
selain buku tersebut tetap saja harus memenuhi pajak yang berlaku.
Tingginya
harga buku ini juga membuat rekan-rekan di kampus hanya mampu membeli buku
bajakan dengan kualitas cetakan yang membuat mata sakit ketika membacanya.
Kertasnya buram dan huruf-hurufnya seakan tercetak ganda.
Nah,
bila buku penunjang perkuliahan saja yang notabene masih tergolong buku
pelajaran sudah selangit harganya, lalu bagaimana mungkin masyarakat khususnya
pemuda diharapkan untuk memperkaya wawasannya melalui buku non-pelajaran.
Pemerintah,
paling tidak, membantu rakyatnya dalam hal-hal positif semacam ini. Misalnya dengan
memberikan subsidi terhadap harga- harga buku sehingga akan dijual ke pasaran
dengan harga yang lebih murah.
Dengan
harga buku yang lebih murah, masyarakat dapat diundang minatnya untuk paling
tidak memiliki buku. Buku yang sudah dimiliki mengundang hasrat untuk membaca.
Keinginan membaca yang awalnya hanya secuil dapat berkembang menjadi sebuah
budaya. Budaya baca dapat membuat sebuah bangsa berjaya.
Melalui
tulisan ini penulis bukannya hendak mendapatkan gratisan seumur hidup. Bila
kejayaan itu telah berhasil diperoleh, maka pemerintah dapat berangsur-angsur mengurangi
subsidi buku. Dengan demikian pemerintah mendapatkan keuntungan dari komoditi
baru berupa buku. Bangsa pun menjadi harum namanya seiring dengan tingkat
intelektual dan moral pemudanya karena membaca.
Provider jaringan GSM untuk telepon genggam saja rela
mensubsidi dan menggratiskan penggunaan internet untuk mengakses facebook demi
untuk peningkatan jumlah pengguna provider mereka. Pengorbanan kecil untuk
sesuatu yang lebih besar.
Tapi
pemerintah Indonesia nyatanya tidak pernah menggunakan prinsip ini. Padahal toh pemberian subsidi buku pada akhirnya
akan memberikan nilai yang sangat besar bagi bangsa Indonesia yang sedang
krisis moral ini.
Sementara
para calon pembaca Indonesia masih berkutat dalam pilihan membeli buku atau
tidak (karena mahalnya), TV dan internet yang menjadi media informasi murah
saat ini justru menjual komoditi sinetron dan facebook. Dua komoditi tersebut
akhirnya membuat pemuda Indonesia berpaling dari buku sepenuhnya. Indonesia
bahkan menjadi pengguna Facebook tertinggi ketiga di seluruh dunia. Sungguh
berkebalikan dari data yang kita dapati pada minat baca.
Padahal,
sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan minat baca akan menjadi
energy positif bagi suatu bangsa. Sebut saja Amerika Serikat yang ketika
didahului oleh Uni Soviet dalam hal penerbangan antariksa. Pemerintah Amerika
justru mengatasinya dengan kampanye membaca hingga akhirnya merekapun berhasil
mendaratkan astronotnya di bulan.
Belum
lagi Jepang, Kecintaan mereka terhadap kebiasaan membaca akhirnya membawa
mereka menjadi negeri sejaya saat ini. Anak-anak muda telah mampu menguasai
penciptaan robot maupun elektronik lainnya.
Data
penentuan indeks pembelian buku menunjukkan bahwa kecenderungan membeli buku
terbaik ada pada negara-negara yang harga bukunya lebih rendah atau paling
tidak sama tingkatannya dengan pendapatan per kapita penduduknya.
Harga
buku di kedua negara itu saat ini tidak dapat kita katakan murah, namun
pendapatan perkapita mereka memang sudah cukup tinggi untuk mengakses buku-buku
kesukaan dengan harga yang cukup tinggi. Sementara Indonesia?
Pengharapan
untuk mengurus masalah ini kini hanya dapat kita sandarkan pada para wakil
rakyat di DPR sana. Meskipun pada Januari lalu DPR pernah menggembar-gemborkan
keinginannya untuk mendesak pemerintah memberikan subsidi kertas untuk menekan
biaya produksi penerbitan buku, tapi rasanya bukan DPR namanya jika tidak
bekerja dengan lambat. Mencari buku murah dengan kualitas bagus masih saja
menjadi hal yang sulit. Mungkin ini juga karena para wakil rakyat di DPR sana kurang
membaca juga? Entahlah.
Saturday 25 February 2012
Perjalanan Malam Hari
Malam itu tanganku hangat
Sebab kau gandeng begitu erat
Kutahu di kepalamu ibu tengah berjongkok termangu
Sambil setengah berlari
Tetap kau rapal mantera penguat diri