Sunday 4 November 2012

Membangun Gerakan Transformatif


Dunia mahasiswa sangat lekat dengan dunia pergerakan. Selayaknya julukan tenar yang dimiliki oleh mahasiswa yakni agent of change, kita tentunya juga tahu bahwa perubahan, change, tidak akan dapat tercapai tanpa melalui sebuah pergerakan. Meski banyak yang beranggapan bahwa dunia pergerakan

Monday 25 June 2012

Friday 25 May 2012

(Book Review) Karnak Café: Apapun yang Terbaik yang Dipilihkan Tuhan

Gambar: marywhipplereviews.com

        Karnak Café. Novel ini merupakan karangan Najib Mahfudz, seorang sastrawan asal Mesir. Mengambil latar pada masa peperangan Juni 1967 di Mesir, novel ini bercerita tentang sebuah kafe bernama Karnak Café yang menjadi tempat berkumpul berbagai jenis orang.

Thursday 24 May 2012

Dunia Sastra NTB Butuh Penghargaan Bukan Peraturan


(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB)

“Pembiasaan paksa” tampaknya telah menjadi menjadi langkah yang sering diambil oleh pemerintah saat ini. Pemda NTB pun tampaknya kesemsem dengan langkah yang sama.
Membaca karya-karya sastra kini dipaksakan menjadi kebiasaan wajib para peserta didik di semua jenjang pendidikan di NTB.
Akhir-akhir ini santer terdengar rencana terbitnya peraturan gubernur (pergub) yang mewajibkan murid-murid di seluruh jenjang pendidikan, SD-SMA, untuk membaca sastra. Penulis memanglah bukan orang yang berkecimpung di dunia sastra. Namun dari kacamata seorang awam, penulis ingin menyampaikan keresahannya terhadap pergub ini.
Ketika mengetahui tentang rencana akan terbitnya pergub ini, penulis teringat ketika menyaksikan berita tv beberapa tahun lalu. Isi beritanya yaitu pergub yang mengatur hari tertentu sebagai hari berbahasa daerah di sekolah. Saat itu, penulis tertawa terbahak-bahak.
Persis seperti itulah kejadiannya ketika mendengar rencana adanya pergub mengenai kewajiban membaca sastra tersebut. Penulis membayangkan bagaimana rasanya jika suatu saat nanti akan terbit pula pergub yang mewajibkan setiap rumah untuk menggunakan toilet duduk, alih-alih toilet jongkok?
Yang ingin penulis katakan adalah pergub-pergub yang pemerintah atur akhir-akhir ini telah jauh melewati batas privat warga negaranya. Di Aceh, para pegawai negeri “dipaksa” untuk sholat berjamaah karena telah ada peraturannya. Di Mataram, seorang adik yang masih duduk di bangku kelas 6 SD “dipaksa” mengenakan jilbab ke sekolah karena telah ada peraturannya. Hubungan kita dengan Tuhan sudah diformalkan. Kini, sastra yang menjadi jembatan hubungan antara kita dengan jiwa kita sendiripun harus diformalkan pula. Alangkah lucunya negeri ini.
Beberapa mengatakan bahwa budaya bangsa ini adalah dipaksa dulu baru berbuat. Budaya yang salah ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan pemaksaan-pemaksaan yang over melalui pergub-pergub yang over pula.
Pemaksaan itu toh akan mengurangi nilai dari kecintaan terhadap sastra itu sendiri. Apalagi di tengah pola pikir peserta didik saat ini yang terbangun secara sistemik agar berorientasi pada nilai dan kelulusan. Hal ini kemudian tidak menyisakan ruang untuk menjiwai dan mencintai sebuah subjek pelajaran, sastra ataupun yang lainnya. Sistem yang menciptakan pola pikir seperti itulah yang seharusnya lebih dulu diubah. Baru kemudian memperumit diri dengan membentuk pergub dan merelakan biaya besar dalam pembentukannya.
Cara-cara pemaksaan seperti itu hanyalah jalan pintas yang ingin diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjukkan kepeduliannya pada minat baca dan kesastraan NTB. Pemerintah lebih memilih menerbitkan suatu pergub daripada pemrosesan penciptaan iklim yang kondusif bagi dunia sastra daerah kita yang mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya agar dapat dikatakan berhasil.
Jika pergub mengenai kewajiban membaca sastra ini kemudian dianggap sebagai sebuah apresiasi dari pemerintah terhadap dunia sastra, maka mengapa tidak pemerintah melakukan hal-hal positif yang berangkat dari budaya yang berbeda (bukan budaya dipaksa dulu). Pemerintah, khususnya Pemda NTB, dapat berangkat dari budaya masyarakat yang lain. Seperti  kecintaan akan pengakuan dan penghargaan. Atau kecintaan masyarakat akan uang di tengah kondisi kehidupan yang sulit.
Cara ini terbukti sukses diterapkan di Malaysia. Pemerintahnya memberikan penghargaan yang cukup tinggi bagi sapa saja yang unggul di bidang sastra. Hadiah yang diberikan sungguh menarik, yakni surat penghargaan negara, uang tunai 30.000 ringgit, diberikan kemudahan dalam menerbitkan karya-karyanya, pembelian 50.000 eksemplar karyanya oleh negara, memperoleh pengobatan gratis, serta karyanya yang sesuai akan diprioritaskan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Tidak perlu melihat jumlahnya. Yang perlu dicontoh adalah keseriusan pemerintahnya menghargai kesastraan itu sendiri.
Di NTB sendiri, sangat sulit kita temukan hal yang demikian. Sastrawan-sastrawan kita seringkali berjuang sendirian untuk menerbitkan hasil karyanya. Usaha untuk memajukan dunia sastrapun dilakukan secara swadaya dan swadana, tanpa bantuan pemerintah. Apahjagah institute yang digawangi oleh Abdul Latief Apriaman dkk misalnya. Apahjagah institute berkeliling pulau Lombok dengan program Sabtu Sastra nya dan berusaha menarik minat mereka-mereka yang mencintai sastra (dalam hal ini puisi). Karya-karya para pengunjung yang dibacakan dalam acara itu akan diterbitkan dalam sebuah buku antologi puisi. Ironisnya, diterbitkan secara swadana.
Penulis tidak bermaksud untuk merendahkan niat tulus para sastrawan daerah kita untuk memajukan dunia sastra. Hanya saja, peran pemerintah untuk mendukungnya perlu diperjelas. Memberikan ruang penghargaan sebesar-besarnya terhadap para pegiat sastra akan menjadi sesuatu yang agaknya lebih baik daripada sekedar melakukan pemaksaan membaca sastra yang diharapkan akan menumbuhkan kecintaan.
Tanpa perlu dibuatkan sebuah pergub pun, pada kenyataannya ada banyak siswa yang menyukai bacaan sastra dan dunia penulisan sastra. Hanya saja, kecintaan mereka terhadap sastra seringkali mereka tinggalkan atau hanya dijadikan sampingan demi untuk mengejar cita-cita yang lebih memiliki nilai tawar di mata orangtuanya. Pilihan untuk bergelut di dunia sastra apalagi di NTB bukanlah sebuah hal yang mudah. Butuh kebulatan tekad yang kuat dan keberanian yang besar.
Terkait rendahnya minat terhadap bacaan sastra tentunya akan meningkat jika karya sastra telah bertaburan dimana-mana akibat geliat penulis sastra yang tinggi. Apalagi jika harga bukunya cukup terjangkau kerena proses penerbitan yang memperoleh bantuan dari pemerintah.
Oleh karenanya, pemerintah seharusnya berhenti menggunakan cara-cara formal untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan minat dan kecintaan seperti ini. Biarkanlah sastra memiliki ruang apresiasinya sendiri yang bebas dan dipenuhi oleh kesuka-relaan hati. Karena hanya apa-apa yang dilandaskan akan kesuka-relaan hati lah yang terbukti akan terus bertahan.

Saturday 12 May 2012

Thursday 5 April 2012

Sunday 1 April 2012

Pemuda dan Membaca Bersama-Sama Membangun Bangsa



(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB.)
 
Pemuda saat ini menjadi miskin karya karena jarang membaca. Sebagaimana slogan-slogan yang ditulis di dinding sekolah semasa SD dulu, kenyataannya memanglah benar bahwa buku adalah jendela dunia. Dengan membuka dan membaca buku, maka telah terbuka pula jendela dunia itu. Ketika pemuda menjadi malas membaca maka tak ada lagi yang bisa diharapkan. 
Tidak ada satupun orang sukses di dunia ini yang meraih kesuksesannya tanpa membaca. Mereka yang jarang membaca ibarat katak dalam tempurung dan tidak ada katak dalam tempurung yang dapat memajukan kehidupannya paling tidak satu langkah dari rekan-rekannya.
Membaca, hingga kini, masih menjadi hobi yang mendapatkan decak kagum orang lain ketika mendengarnya. Hal ini berarti, alih-alih menganggap membaca adalah sebuah hal yang lumrah dan menjadi keharusan, ia justru dianggap sebuah hal yang wah.
Apalagi kalau bukan karena masyarakat Indonesia memang belum cukup memiliki kesadaran akan pentingnya membaca. Bilapun ada kesadaran itu dimiliki, harga buku yang tinggi membuat hobi membaca menjadi hobi yang mahal.
Bangsa Indonesia pernah menjadi sorotan internasional karena memiliki minat baca penduduk terendah ketiga di Asia (UNDP 2009). Sedangkan minat baca siswa yang disebut-sebut sebagai tunas-tunas muda bangsa masih menempati posisi 57 dari 65 negara di dunia (PISA 2009).
Cukup banyak memang faktor yang menciptakan angka-angka di atas. Tapi kali ini, penulis ingin menekankan pada harga buku yang masih mengagetkan calon pembeli, khusunya para pemuda yang bisa saja langsung dibunuh keinginan membacanya. Penulis sendiri merupakan salah satu yang seringkali hanya membeli buku ketika ada obral buku atau diskon besar-besaran cuci gudang.
Menurut keputusan menteri keuangan Nomor 10/KMK.04/2001, buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama seharusnya tidak dikenai pajak bila mendapatkan rekomendasi dari kementerian terkait. Buku-buku jenis lain selain buku tersebut tetap saja harus memenuhi pajak yang berlaku.
Tingginya harga buku ini juga membuat rekan-rekan di kampus hanya mampu membeli buku bajakan dengan kualitas cetakan yang membuat mata sakit ketika membacanya. Kertasnya buram dan huruf-hurufnya seakan tercetak ganda.
Nah, bila buku penunjang perkuliahan saja yang notabene masih tergolong buku pelajaran sudah selangit harganya, lalu bagaimana mungkin masyarakat khususnya pemuda diharapkan untuk memperkaya wawasannya melalui buku non-pelajaran.
Pemerintah, paling tidak, membantu rakyatnya dalam hal-hal positif semacam ini. Misalnya dengan memberikan subsidi terhadap harga- harga buku sehingga akan dijual ke pasaran dengan harga yang lebih murah.
Dengan harga buku yang lebih murah, masyarakat dapat diundang minatnya untuk paling tidak memiliki buku. Buku yang sudah dimiliki mengundang hasrat untuk membaca. Keinginan membaca yang awalnya hanya secuil dapat berkembang menjadi sebuah budaya. Budaya baca dapat membuat sebuah bangsa berjaya.
Melalui tulisan ini penulis bukannya hendak mendapatkan gratisan seumur hidup. Bila kejayaan itu telah berhasil diperoleh, maka pemerintah dapat berangsur-angsur mengurangi subsidi buku. Dengan demikian pemerintah mendapatkan keuntungan dari komoditi baru berupa buku. Bangsa pun menjadi harum namanya seiring dengan tingkat intelektual dan moral pemudanya karena membaca.
            Provider jaringan GSM untuk telepon genggam saja rela mensubsidi dan menggratiskan penggunaan internet untuk mengakses facebook demi untuk peningkatan jumlah pengguna provider mereka. Pengorbanan kecil untuk sesuatu yang lebih besar.
Tapi pemerintah Indonesia nyatanya tidak pernah menggunakan prinsip ini. Padahal toh pemberian subsidi buku pada akhirnya akan memberikan nilai yang sangat besar bagi bangsa Indonesia yang sedang krisis moral ini.
Sementara para calon pembaca Indonesia masih berkutat dalam pilihan membeli buku atau tidak (karena mahalnya), TV dan internet yang menjadi media informasi murah saat ini justru menjual komoditi sinetron dan facebook. Dua komoditi tersebut akhirnya membuat pemuda Indonesia berpaling dari buku sepenuhnya. Indonesia bahkan menjadi pengguna Facebook tertinggi ketiga di seluruh dunia. Sungguh berkebalikan dari data yang kita dapati pada minat baca.  
Padahal, sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan minat baca akan menjadi energy positif bagi suatu bangsa. Sebut saja Amerika Serikat yang ketika didahului oleh Uni Soviet dalam hal penerbangan antariksa. Pemerintah Amerika justru mengatasinya dengan kampanye membaca hingga akhirnya merekapun berhasil mendaratkan astronotnya di bulan.
Belum lagi Jepang, Kecintaan mereka terhadap kebiasaan membaca akhirnya membawa mereka menjadi negeri sejaya saat ini. Anak-anak muda telah mampu menguasai penciptaan robot maupun elektronik lainnya.
Data penentuan indeks pembelian buku menunjukkan bahwa kecenderungan membeli buku terbaik ada pada negara-negara yang harga bukunya lebih rendah atau paling tidak sama tingkatannya dengan pendapatan per kapita penduduknya.
Harga buku di kedua negara itu saat ini tidak dapat kita katakan murah, namun pendapatan perkapita mereka memang sudah cukup tinggi untuk mengakses buku-buku kesukaan dengan harga yang cukup tinggi. Sementara Indonesia?
Pengharapan untuk mengurus masalah ini kini hanya dapat kita sandarkan pada para wakil rakyat di DPR sana. Meskipun pada Januari lalu DPR pernah menggembar-gemborkan keinginannya untuk mendesak pemerintah memberikan subsidi kertas untuk menekan biaya produksi penerbitan buku, tapi rasanya bukan DPR namanya jika tidak bekerja dengan lambat. Mencari buku murah dengan kualitas bagus masih saja menjadi hal yang sulit. Mungkin ini juga karena para wakil rakyat di DPR sana kurang membaca juga? Entahlah.

Saturday 25 February 2012