Friday 25 May 2012

(Book Review) Karnak Café: Apapun yang Terbaik yang Dipilihkan Tuhan

Gambar: marywhipplereviews.com

        Karnak Café. Novel ini merupakan karangan Najib Mahfudz, seorang sastrawan asal Mesir. Mengambil latar pada masa peperangan Juni 1967 di Mesir, novel ini bercerita tentang sebuah kafe bernama Karnak Café yang menjadi tempat berkumpul berbagai jenis orang.
Kafe ini, melalui tokoh “aku”, merekam banyak kisah, baik itu kisah cinta si pemilik kafe maupun diskusi-diskusi mengenai kondisi politik pada masa itu.
            Tokoh “aku” yang terpikat pada magnet tak terlihat yang dimiliki oleh kafe ini merupakan tokoh sentral dimana segala cerita berasal dari pengalaman inderanya. Dimulai dari seseorang yang awalnya hanya terpikat pada aura pemilik kafe, Qurunfula-mantan penari perut legendaries, ia lantas menjadi seseorang yang dipercayai oleh tokoh-tokoh lainnya sebagai tempat bercerita. Melalui cerita masing-masing tokoh inilah, novel ini kemudian tersusun menjadi sebuah novel yang menarik untuk dibaca.
            Qurunfula, seorang wanita paruh baya pujaan banyak lelaki yang sebagian besar menjadi pelanggan tetap kafe yang dikelolanya. Meski demikian, hatinya hanya mampu ditambatkan pada seorang pemuda idealis yang juga adalah pelanggan tetap di tempat itu, Hilmi Hamada. Kisah cinta mereka terpaksa harus berakhir tragis akibat keterlibatan Hilmi Hamada dengan komunis. Pada masa itu, komunis ataupun Ikhwanul Muslimin tidak diperbolehkan di Mesir karena dianggap telah menghina dan mengancam revolusi.
            Ismail Al-Syekh, seorang pemuda yang sangat percaya akan kekuatan revolusi namun cukup liberal hingga mampu bersahabat dengan Hilmi Hamada yang seorang komunis. Ismail diceritakan terseret kasus dengan pihak keamanan akibat tuduhan keterlibatannya dengan komunis ataupun ikhwanul muslimin. Sebanyak tiga kali ia harus melewati masa interogasi yang kejam bersamaan dengan sahabatnya Hilmi Hamada dan kekasihnya Zainab Diyab di tempat terpisah.
            Zainab Diyab, kekasih Ismail Al-Syekh merupakan sosok wanita menarik, periang, dan sangat idealis. Ia dan kekasihnya sama-sama berasal dari kalangan miskin kota namun akhirnya berhasil menjadi seorang mahasiswa. Di bangku kuliahlah diperolehnya semacam kebebasan yang tak sanggup ia ungkapkan. Ia dan rekan-rekannya termasuk yang terdekat yakni Ismail dan Hilmi Hamada selalu meluangkan waktunya untuk berdiskusi di Karnak Kafe mengenai banyak hal termasuk pemerintahan, revolusi dan perang. Karena itu pulalah, iapun turut mengalami masa interogasi yang kejam bersama Khalid Safwan yang juga menginterogasi dua rekannya yang lain. Dan karenanya Zainabpun harus membuang idealisme dan kehormatannya yang ia junjung tinggi.
            Khalid Safwan, seorang petugas keamanan yang bertugas melindungi revolusi dari segala jenis ancaman. Ialah yang menginterogasi pemuda tiga serangkai yang menjadi pelanggan Karnak Kafe. Setelah perang usai dan Mesir harus kalah dari Israel, ia mengalami masa tahanan selama tiga tahun. Setelah bebas, entah mengapa ia ditakdirkan mengunjungi Karnak Kafe pula dimana ia bertemu kembali dengan dua orang bekas tahanannya yaitu Zainab dan Ismail.
               Tiap bab dalam novel ini menggunakan nama-nama tokoh di dalamnya. Tokoh aku menjadi seorang tokoh tanpa deskripsi apa-apa tentangnya, namun seiring berjalannya waktu berhasil menguak keterkaitan tokoh-tokoh lain pengunjung Karnak Kafe melalui penuturan masing-masing.
               Najib Mahfudz menuliskan situasi saat perang dan kondisi psikologis masyarakat ketika mengalami kekalahan melalui cara yang tidak biasa. Ia juga menyisipkan keprihatinannya terhadap banyaknya orang yang harus menjual kehormatan mereka demi uang melalui korupsi dan lain sebagainya.
              “Itulah kawan, gambaran semuanya...beberapa orang mengambil (uang) agar tetap hidup, sebab pemerintah tidak menyediakan kehidupan bagi mereka. Sementara yang lainnya lebih disebabkan sifat serakah; yang lainnya lagi mengambil dengan motif ikut-ikutan, karena semua orang juga melakukan hal serupa, termasuk anak muda yang juga terjebak dalam kegilaan ini.”
              Sebagai novel terjemahan yang memang ditulis saat perang Juni 1967 pecah di Mesir, terkadang ada beberapa istilah ataupun situasi yang akan sulit dicerna oleh pembaca tanpa ada pengetahuan awal mengenai kondisi saat itu. Meski demikian, pendeskripsian dan pengungkapan keterkaitan cerita secara perlahan dapat membuat pembaca bertahan untuk membacanya hingga selesai.
              Satu hal lagi yang perlu diperhatikan yakni meskipun Najib Mahfudz konsisten menceritakan bagaimana kemiskinan akibat perang melanda masyarakat Mesir, akan tetapi penutup cerita ini menunjukkan betapa Najib Mahfudz juga merupakan seseorang yang pasrah pada jalan Tuhan.
            “Hal itu akan memberinya dua pilihan: korupsi atau menjadi imigran.”
            “Tidak, masih ada pilihan ketiga. Apapun yang terbaik yang dipilihkan Tuhan”
             Cinta mungkin sekali lagi akan menemukan kesucian dan kepolosan.

0 comments: