Gambar: marywhipplereviews.com |
Karnak Café. Novel ini merupakan karangan Najib Mahfudz, seorang
sastrawan asal Mesir. Mengambil latar pada masa peperangan Juni 1967 di Mesir,
novel ini bercerita tentang sebuah kafe bernama Karnak Café yang menjadi tempat
berkumpul berbagai jenis orang.
Kafe ini, melalui tokoh “aku”, merekam banyak kisah, baik itu kisah cinta si pemilik kafe maupun diskusi-diskusi mengenai kondisi politik pada masa itu.
Kafe ini, melalui tokoh “aku”, merekam banyak kisah, baik itu kisah cinta si pemilik kafe maupun diskusi-diskusi mengenai kondisi politik pada masa itu.
Tokoh
“aku” yang terpikat pada magnet tak
terlihat yang dimiliki oleh kafe ini merupakan tokoh sentral dimana segala
cerita berasal dari pengalaman inderanya. Dimulai dari seseorang yang awalnya
hanya terpikat pada aura pemilik kafe, Qurunfula-mantan penari perut
legendaries, ia lantas menjadi seseorang yang dipercayai oleh tokoh-tokoh
lainnya sebagai tempat bercerita. Melalui cerita masing-masing tokoh inilah,
novel ini kemudian tersusun menjadi sebuah novel yang menarik untuk dibaca.
Qurunfula, seorang wanita paruh baya
pujaan banyak lelaki yang sebagian besar menjadi pelanggan tetap kafe yang
dikelolanya. Meski demikian, hatinya hanya mampu ditambatkan pada seorang
pemuda idealis yang juga adalah pelanggan tetap di tempat itu, Hilmi Hamada. Kisah
cinta mereka terpaksa harus berakhir tragis akibat keterlibatan Hilmi Hamada
dengan komunis. Pada masa itu, komunis ataupun Ikhwanul Muslimin tidak
diperbolehkan di Mesir karena dianggap telah menghina dan mengancam revolusi.
Ismail Al-Syekh, seorang pemuda yang
sangat percaya akan kekuatan revolusi namun cukup liberal hingga mampu
bersahabat dengan Hilmi Hamada yang seorang komunis. Ismail diceritakan
terseret kasus dengan pihak keamanan akibat tuduhan keterlibatannya dengan
komunis ataupun ikhwanul muslimin. Sebanyak tiga kali ia harus melewati masa
interogasi yang kejam bersamaan dengan sahabatnya Hilmi Hamada dan kekasihnya
Zainab Diyab di tempat terpisah.
Zainab Diyab, kekasih Ismail Al-Syekh
merupakan sosok wanita menarik, periang, dan sangat idealis. Ia dan kekasihnya
sama-sama berasal dari kalangan miskin kota namun akhirnya berhasil menjadi
seorang mahasiswa. Di bangku kuliahlah diperolehnya semacam kebebasan yang tak
sanggup ia ungkapkan. Ia dan rekan-rekannya termasuk yang terdekat yakni Ismail
dan Hilmi Hamada selalu meluangkan waktunya untuk berdiskusi di Karnak Kafe
mengenai banyak hal termasuk pemerintahan, revolusi dan perang. Karena itu
pulalah, iapun turut mengalami masa interogasi yang kejam bersama Khalid Safwan
yang juga menginterogasi dua rekannya yang lain. Dan karenanya Zainabpun harus
membuang idealisme dan kehormatannya yang ia junjung tinggi.
Khalid Safwan, seorang petugas keamanan
yang bertugas melindungi revolusi dari segala jenis ancaman. Ialah yang
menginterogasi pemuda tiga serangkai yang menjadi pelanggan Karnak Kafe. Setelah
perang usai dan Mesir harus kalah dari Israel, ia mengalami masa tahanan selama
tiga tahun. Setelah bebas, entah mengapa ia ditakdirkan mengunjungi Karnak Kafe
pula dimana ia bertemu kembali dengan dua orang bekas tahanannya yaitu Zainab
dan Ismail.
Tiap bab dalam
novel ini menggunakan nama-nama tokoh di dalamnya. Tokoh aku menjadi seorang
tokoh tanpa deskripsi apa-apa tentangnya, namun seiring berjalannya waktu
berhasil menguak keterkaitan tokoh-tokoh lain pengunjung Karnak Kafe melalui
penuturan masing-masing.
Najib Mahfudz
menuliskan situasi saat perang dan kondisi psikologis masyarakat ketika
mengalami kekalahan melalui cara yang tidak biasa. Ia juga menyisipkan
keprihatinannya terhadap banyaknya orang yang harus menjual kehormatan mereka
demi uang melalui korupsi dan lain sebagainya.
“Itulah kawan,
gambaran semuanya...beberapa orang mengambil (uang) agar tetap hidup, sebab
pemerintah tidak menyediakan kehidupan bagi mereka. Sementara yang lainnya
lebih disebabkan sifat serakah; yang lainnya lagi mengambil dengan motif
ikut-ikutan, karena semua orang juga melakukan hal serupa, termasuk anak muda
yang juga terjebak dalam kegilaan ini.”
Sebagai novel
terjemahan yang memang ditulis saat perang Juni 1967 pecah di Mesir, terkadang
ada beberapa istilah ataupun situasi yang akan sulit dicerna oleh pembaca tanpa
ada pengetahuan awal mengenai kondisi saat itu. Meski demikian, pendeskripsian
dan pengungkapan keterkaitan cerita secara perlahan dapat membuat pembaca
bertahan untuk membacanya hingga selesai.
Satu hal lagi
yang perlu diperhatikan yakni meskipun Najib Mahfudz konsisten menceritakan
bagaimana kemiskinan akibat perang melanda masyarakat Mesir, akan tetapi
penutup cerita ini menunjukkan betapa Najib Mahfudz juga merupakan seseorang
yang pasrah pada jalan Tuhan.
“Hal itu akan
memberinya dua pilihan: korupsi atau menjadi imigran.”
“Tidak, masih
ada pilihan ketiga. Apapun yang terbaik yang dipilihkan Tuhan”
Cinta mungkin sekali lagi
akan menemukan kesucian dan kepolosan.
0 comments:
Post a Comment