Tuesday 26 April 2016

Tentang Label "Kutu" pada Pecinta Buku

Belakangan ini kepalaku berisi pertanyaan, mengapa orang-orang yang suka baca disebut kutu buku? Para pecinta buku disamakan dengan “kutu”, ya ampun, bukankah sangat menjijikkan. Bahkan dalam bahasa inggris, para pecinta buku ini harus pasrah dilabeli sebagai “cacing”, bookworm. Padahal aku ndak pernah tuh nemu ada pecinta buku atau pembaca kelas berat yang saking sukanya baca buku terus jalannya jadi melata begitu macam cacing.

Maksudku, ini sama saja dengan pelabelan buruk. Melabeli para pecinta baca dengan konotasi hewan-hewan yang bikin banyak orang geli itu sama saja dengan menanamkan pikiran ke orang-orang bahwa membaca buku itu ndak keren. Ndak masuk akal kan? Nyatanya aku banyak lho bersahabat dengan para maniak buku yang kece-nya sudah tingkat badai. Modish, stylish, amis. Eh, maksudku amis. Eh, maksudku, maksudku, manis. 

Orang yang waras saja, jika semua orang disekitarnya sepakat untuk selalu mengatakan bahwa dia gila, maka si waras itu akan perlahan-lahan mulai meragukan dirinya sendiri. Apa benar ia waras, ataukah seperti yang dikatakan orang-orang, bahwa sebenarnya ia gila.

Nah, pelabelan dengan istilah ndak keren itu, menurutku bisa sangat berbahaya bagi kampanye membaca di Indonesia. Anak-anak keren yang mendapati dirinya suka membaca bisa mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah benar ia keren ataukah memang ia tidak lebih dari hanya sekedar kutu yang menyukai ruang-ruang sepi, asik sendiri, dan mulai membaca. Kemudian sebagaimana teori labelling, ia mulai membuat dirinya menjadi tidak keren sebagaimana yang dilabelkan pada dirinya itu. Ini tipe yang lebih kuat memilih kegemarannya pada baca. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang belum gemar membaca? Mendengar pelabelan semacam itu akan membuat mereka mengurungkan niatnya untuk membaca terlalu banyak. Mereka bahkan menjadi penyumbang terbesar anak-anak yang suka baca enggan menunjukkan ketertarikannya membaca di depan umum. Sebab tipe-tipe yang lebih gemar mempertahankan ke-keren-an versi mereka ini akan mulai mengolok-olok mereka sebagai kutu.

So, saran saya sih simpel saja. Istilah kutu buku itu harus segera dilenyapkan dari muka bumi ini, kisanak dan nyisanak sekalian. Kita ciptakan istilah-istilah baru yang mampu mengangkat harkat dan derajat para pecinta buku kelas berat. Usulan dari saya sih misalnya ganti saja dengan  kembang buku, peselancar buku, penyelam aksara.

Nah, nah, bahkan ideku itu terdengar sangat aneh. Ini menunjukkan pelabelan tersebut sudah sampai pada tahap akut di pikiranku. Atau mungkin saja, istilah paling merdu bagi para pecinta buku ya memang kutu buku itu tadi. Ya sudahlah. Pasrah saja. Baca ya baca saja. Gausah pikir macam-macam, pengen keren segala. -_-



Monday 25 April 2016

[NOVEL] Arok Dedes : Kisah Kudeta Paling Mula-Mula





Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” (Dang Hyang Lohgawe-Arok Dedes hal. 261)

Kemarin akhirnya aku selesaikan juga membaca Arok Dedes, Pramoedya A. Toer. Ini merupakan penamatanku yang kedua kali atas novel tersebut. Akhir April tahun ini akan menjadi tepat sedasawarsa Mas Pram meninggalkan kita, paling tidak aku ingin mengingatnya dengan membaca ulang novel ini. 

Arok Dedes, pastinya terdengar sangat familier di telinga siapa saja di Indonesia (paling tidak aku). Kisah ini mengisi buku-buku sejarah masa SD-ku dulu. Kisah sejarah yang membikin kita berpikir kok bisa perampok dan pembunuh macam Arok menjadi “orang besar”. Yang bisa jadi juga telah menginspirasi beberapa anak kecil untuk tidak menjadi anak baik, karena toh ancaman orang tua dan guru yang menyebut mereka akan jadi “orang gagal” saat menjadi anak nakal terbukti telah terpatahkan oleh kisah sejarah ratusan tahun silam. Ah, dan tentu kisah Ken Arok itu juga, saya rasa, adalah pengilham terbesar akan banyaknya kisah-kisah penuh ajisakti mandraguna di tayangan-tayangan Ind**iar dan MN**V. #halah

Balik ke karya Mas Pram. Novel ini memang berkisah tentang orang yang sama dengan yang kita cerna di buku-buku sejarah itu, tapi dengan cerita yang sama sekali berbeda. Tidak ada mistis-mistis kesaktian keris Empu Gandring. Tak ada kesaktian Ken Arok yang dikarenakan dia adalah keturunan dewa. Buku ini menyajikan kisah Ken Arok serealistis mungkin dan melenyapkan segala unsur mistis. 

Ken Arok mencapai kedudukan dan kebesarannya menggunakan taktik-taktik politik. Berbekal ilmu pengetahuan dari dua orang gurunya, Tantripala dan Dang Hyang Lohgawe, ia yang adalah seorang tani (sudra) bisa naik tingkat menjadi seorang brahmana (kaum yang dianggap sebagai pemilik ilmu). Dengan pengetahuannya ia mulai mempertanyakan apa yang telah dilakukan kaum Brahmana selama ini untuk melawan setelah terus-menerus ditindas oleh Tunggul Ametung.

“Apa guna pengetahuan tanpa pendapat?”

Demikian diutarakan Arok pada Dang Hyang Lohgawe. Maka ia yang telah memenangkan hati gurunya pun mendapatkan restu untuk menjatuhkan Tunggul Ametung yang saat itu berkuasa. Dengan demikian, sepanjang buku ini, kita akan ikut masuk dalam pikiran Arok dan ikut serta pula menyusun taktik kudeta. 

Buku tentang politik yang dituliskan dengan asik. Bikin kita sedikit mengerti mengapa karya-karya Pram ingin sekali dimusnahkan oleh pihak yang berkuasa saat itu. Diselesaikan pada 1976, buku ini menurutku secara tidak langsung mengajarkan dan mengajak untuk melakukan kudeta. Beuh! Seakan-akan bukan Era Soeharto saja. 

Seperti pada beberapa review novel sebelumnya, selain ingin menceritakan sedikit tentang isi buku, aku juga ingin membagi kesukaanku akan tokoh favorit. Pada novel ini, aku jatuh cinta pada tokoh.... Arok. Hahaha. Mainstream ya. Beberapa novel sebelumnya aku selalu jatuh hati pada tokoh-tokoh minor. Tapi di novel ini aku tidak bisa tidak menyukai kecerdikan Arok. Maaf, aku hanya manusia biasa yang terlalu mudah jatuh cinta. 

Meskipun demikian, aku tau para penggemar wanita tangguh pasti banyak yang mengidolakan sang Pramesywari alias Ken Dedes yang cantik jelita, lagi cerdas, lagi tabah itu. Tanpa dia, mana lah ada kudeta itu terjadi. 

Umang si tangguh yang tak cantik rupa tapi kawan Arok paling mula-mula. Oti si budak. Rimang si mantan selir. 

Atau bisa jadi juga menyukai si pendamping setia Arok, Tanca. Ya Tuhan. Tanpa kesetiaan, manalah ada sebuah perlawanan. 

Dan, ah, aku bisa memenuhi tulisan ini dengan tokoh-tokoh dalam novel itu. Tapi tidak, tidak. Tanganku mulai lelah. Catatan ini biar menjadi catatan singkat seperlunya saja tentang buku ini. Aku harap kamu sekalian turut membaca dan menyambung cerita tentang kesukaanmu pada tokoh yang mana. Mundrayana si mata satu, Dang Hyang Lohgawe sang guru yang berkelebihan dan berkekurangan, Tantripala si Budha. Hhh, cukup, cukup. Kadang-kadang, tanganku tidak mau patuh pada pikiranku. Mungkin tanganku perlahan sedang menyusun sebuah kudeta. 

After all, mari baca :)