Friday 16 September 2016

[Novel] Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi

Jiwa dan Nanti. Kisah percintaan dari dua nama ini adalah topik utama pada novel satu-satunya yang aku kenal dari penulis M Aan Mansyur. Buku ini diceritakan sebagai buku autobiografi Jiwa yang ditulisnya sebelum ia meninggal. Naskahnya ditemukan oleh salah seorang temannya yang kemudian menyerahkannya pada Nanti untuk meminta pendapat atau barangkali terdapat hal-hal yang ingin Nanti hilangkan. Karena bagaimanapun, meski seharusnya berupa autobiografi hidup Jiwa, buku ini justru lebih banyak menyoroti tentang kisah percintaan kedua tokoh utamanya.

Jiwa yang adalah seorang pemuda pendiam pecinta puisi jatuh cinta pada Nanti yang memiliki senyuman memikat. Mereka menjadi pasangan kekasih yang begitu saling melengkapi. Nanti selalu menjadi pembaca pertama karya-karya Jiwa. Jika karyanya bagus maka Jiwa akan mendapatkan ciuman, jika jelek maka tidak (Nanti mengakui betapa kesalnya ia jika Jiwa menulis karya jelek). Hal ini lah barangkali yang paling dirindukan Jiwa, bahwa Nanti selalu menjadi penyemangatnya dalam menulis. 

Saya berusaha keras untuk tidak memberikan spoiler lebih jauh.  Jadi, kira-kira begitulah apa yang diceritakan dalam buku tersebut.

Sangat banyak kata-kata puitis dalam buku ini yang tentu membuat kita tidak bisa melupakan bahwa seorang Aan Mansyur memang berbasic seorang penyair. 
 “tetapi hidup selalu punya tetapi.”
 menjadi kalimat quotable pamungkas dari buku ini, saya rasa. 

Saya menyukai buku ini dari bagaimana mengalirnya bahasa yang digunakan. Juga betapa cerdasnya Aan memilih bentuk sebagai “naskah buku yang diterbitkan”. Dengan bentuk yang seperti ini, kita akan temui banyak sekali catatan kaki yang berisi pikiran Nanti atas suatu kejadian yang diceritakan Jiwa. Atau sekedar mengatakan bahwa Jiwa terlalu berlebihan dan sangat subjektif menceritakan apa yang mereka alami berdua. Sehingga kita akan melihat bahwa sosok yang sebenarnya memainkan peran di sana adalah; Jiwa si penulis, Nanti versi Jiwa, dan Nanti yang Sebenarnya. Meskipun tentu saja kita bisa berasumsi bahwa saat Nanti yang Sebenarnya menyangkal apa yang dilakukan Nanti versi Jiwa pada catatan kaki, Nanti yang Sebenarnya bisa saja berbohong. 

Bagi penggemar Aan, pasti akan segera sadar mengenai kedekatan karakter Jiwa dengan si penulis itu sendiri. Bahwa Jiwa diceritakan sebagai pengidap penyakit jantung sebagaimana Aan. Jiwa yang seorang penyair. Jiwa (yang bersama nanti) membangun Perpustakaan Terakhir (dalam kehidupan Aan, ia membangun perpustakaan Kata Kerja) . 

Ada banyak kemiripan yang membuat saya sendiri (atau mungkin sebagian besar pembaca) secara sepihak merasa bahwa buku ini adalah autobiografi dari si penulis. Hal ini menyenangkan mengingat bahwa saya adalah penggemar Aan, juga sekaligus mengerikan, karena beberapa bagian dalam buku ini yang tidak terbayangkan jika benar seorang Aan ternyata pernah melakukannya. 

Kemiripan karakter ini, jika ingin berlaku adil, menurut saya (yang hanya seorang awam) membuat buku ini belum dapat kita sejajarkan dengan novel-novel lain. Dalam artian bahwa, tentu seorang pencerita ingin menceritakan sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya sehingga mampu meyakinkan pembaca, namun bagaimanapun, ini bisa jadi menunjukkan kemalasan dan kekurangan ide untuk menggali dan mendalami sosok karakter yang lain yang jauh berbeda dari dirinya sendiri.
Apapun itu, saya melarang keras para perempuan-perempuan atau pria tipe Susah Move On untuk membaca buku ini. It’s a big NO! Kamu bisa baper berkepanjangan. Percayalah!

(tulisan ini pernah dimuat di tulismenulis.com)

Judul buku        : Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi
Penerbit            : Gagas Media
Halaman           : 276
Tahun Terbit     : 2015
ISBN                 : 9797808165

Tuesday 12 July 2016

Rumah Bayang

/1/
segala dirimu
pintu
tapi rumah
adalah kesendirian

/2/
segala diriku
bayang
berpindah tapi
tak hilang

hingga gelap datang
kematian


2016

Drawing credits Marni Air

Saturday 11 June 2016

Apa Guna Itu Sastra

“Apa manfaat praktis yang bisa saya dapatkan dari belajar sastra?”

Itu adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu kawan yang bersama saya dan beberapa teman lainnya membuat kelompok belajar sastra di Sumbawa. Meski ia mengikuti kelompok ini dengan sukarela, ia sendiri bukanlah penggemar sastra. Ia hanya merasa ingin menulis. Itu saja. Maka ia pun bergabung. Tidak ada tutor atau sebutlah satu saja penulis ataupun sastrawan mumpuni dalam kelompok ini. Tapi karena sayalah yang berinisiatif memulainya, saya merasa sayalah yang bertanggungjawab menjawabnya.

Mari lewati saja jawaban saya saat itu. Kali ini saya ingin mengajak pembaca semua memikirkan ini bersama-sama. Apa manfaat praktis yang bisa kita dapatkan dari belajar atau membaca sastra? Pertama, saya pikir akan ada yang nyinyir beranggapan bahwa si penanya adalah manusia yang selalu melihat segala hal dari kebermanfaatan pada dirinya. Tapi, ayolah, kejujuran pertanyaan tersebut justru adalah cerminan masyarakat kita sekarang. Akan menyusul banyak orang lain lagi yang akan menanyakan ini atau paling tidak, menyimpannya dalam hati. Maka tidak ada gunanya menghindari pertanyaan ini sekarang.

Saya memutar ulang masa-masa dalam hidup saya. Berusaha mencari satu saja peristiwa dimana apa yang ada dalam buku-buku fiksi itu saya terapkan. Ambil contoh, saya sedang membaca The White Tiger karangan Aravind Adiga. Setelah membaca buku itu, toh saya tidak menjadi sebegitu amat menertawakan dunia. Atau mencari keuntungan dari membunuh orang lain. Ujug-ujug, paling saya hanya mengikuti gaya tertawanya saja. Ha!

Betapa meruginya saya jika saya membaca buku itu hanya untuk berusaha mencari ajaran-ajaran yang ada di dalamnya yang bisa saya terapkan langsung. Tapi jika membaca buku hanya murni untuk menemukan kesenangan juga mestinya tak elok pula. Apalagi hanya untuk sekedar memahami gaya menulisnya. Tapi, itulah menurutku kelebihan dari membaca buku. Tidak ada “hanya sekedar untuk”. Kita membaca tidak hanya sekedar untuk bersenang-senang karena menemukan keluasan imajinasi di dalamnya, tapi alam bawah sadar kita juga secara bersamaan merekam ajaran-ajaran halus dari apa yang kita baca. Dan secara tak sengaja tercerna pula cara menulisnya.

Membaca karya sastra tentu akan berbeda jauh dari membaca buku-buku resep, misalnya. Buku resep menjelaskan detail apa-apa yang harus dilakukan. Tapi sastra tidak demikian. Alih-alih ingin membuat karya yang disengaja untuk menceramahi para pembaca untuk melakukan ini-itu, aku sering beranggapan bahwa para penulis itu menulis untuk dirinya sendiri. Menuangkan kegelisahan-kegelisahannya dan menaruh sebagian kepribadiannya yang sudah sesak dalam badannya (aku punya ide gila bahwa hampir semua sastrawan itu pengidap multipolar, lebih parah dari bipolar). Syukur bila karya itu akhirnya menemui pembaca yang memiliki kegelisahan sama.

Pada akhirnya, membaca sastra ingin aku sandingkan dengan mendengarkan musik. Nikmati saja. Meski kamu tidak sadar betapa itu pada akhirnya akan memperluas kosa-katamu, memperluas wawasanmu, memperhalus perasaanmu, dan tentu bonus bisa merayu sang pacar (atau mantan).


Sunday 15 May 2016

[Book] Klub Film, David Gilmour



Aku selalu bilang bukan, aku lebih mengagumi Eka Kuniawan sebagai pembaca ketimbang dirinya sebgai penulis. Menurutku dia tidak akan keberatan dengan itu. Toh dia juga lebih ingin “membesarkan” dirinya sebagai pembaca daripada sebagai penulis. Maka, rekomendasinya untuk membaca buku ini pun aku turuti.

Klub Film, sebuah memoar milik David Gilmour. Ia menceritakan pengalaman membesarkan anak laki-lakinya yang pada usia 15 tahun ia ketahui tidak punya minat apapun pada lembaga yang disebut sekolah. Keputusan besar harus ia ambil ketika menanyakan kepada anaknya apakah ia sudah tidak ingin bersekolah lagi. Ia memberikan waktu (memaksa anaknya) untuk memikirkan jawabannya matang-matang. Tiga hari. Meskipun tentu saja 1 detik saja sudah cukup bagi anaknya untuk membuat ia berkata “Ya” bahwa dirinya sudah tidak ingin bersekolah lagi.

Sebagai gantinya, si anak harus menuruti si ayah. Bahwa mereka akan menonton tiga film dalam seminggu dan tidak boleh ada “obat-obatan” yang terlibat selama itu. Maka dimulailah Klub Film mereka. Tiga film dalam seminggu, si ayah yang memang adalah kritikus film memilihkan judul-judul film untuk dintonton anaknya. Bukan perkara mudah, tentu saja.

“Memilih film bagi orang lain adalah urusan serius. Seperti halnya menulis surat untuk seseorang hal itu bisa mengungkap jati diri kita. Hal itu menunjukkan pola pikir kita, menunjukkan apa yang menggugah perasaan kita, bahkan terkadang hal itu bisa menunjukkan pendapat kita tentang bagaimana cara dunia memandang kita.”

Dalam klub film itu, keduanya menonton kemudian berdiskusi setelahnya atau sekedar membahas apa saja. Seiring betambahnya ketakutan si ayah bahwa ia sendiri lah yang menjerumuskan anaknya pada “jurang” yang mungkin tidak dapat dinaiki, mengantarkan sendiri anaknya ke masa depan yang suram, pemahaman si anak akan film (juga kedewasaannya berpikir?) justru berkembang.

(Pada bagian ini, aku diingatkan pada Pengajian Sastra Senin Sore yang dulu kuikuti bersama beberapa kawan. Membaca buku, dan mendiskusikannya. Membaca tulisan teman sendiri dan mendiskusikannya. Pada akhirnya kita tidak sadar seberapa banyak kita sudah belajar. Kita bisa belajar dari apapun, bukan?)

Jika kalian sepertiku yang juga menyukai film, maka sepanjang buku ini kita akan menemukan judul-judul film keren (paling tidak menurut standar Gilmour). Aku selalu menuliskannya di catatanku ketika- berdasarkan pembahasan Gilmour- judul film tersebut kuanggap menarik. Maka menyebalkan sekali ketika di akhir buku, aku melihat ada daftar judul film yang disebutkan di buku ini. Pfft, harusnya aku tidak usah repot-repot mencatat. -_-

Sepanjang buku ini pula, aku dapat merasakan betapa besar Gilmour mencintai keluarganya. Ayolah, siapa yang bisa menceritakan keluarga mereka sedemikian rupa kalau tidak benar-benar mencintainya? Dan meskipun belum “berkeluarga”, aku memahami bagaimana rapuhnya hubungan orangtua-anak yang dapat runtuh hanya karena pemilihan satu saja kata yang salah ketika berbicara.

Sebagai penutup, seperti kata Eka, buku ini bukan hendak meminta para orangtua untuk menarik anak mereka dari sekolah. Sebab toh pada akhirnya Jesse, si anak, memutuskan untuk kembali bersekolah lagi. Buku ini kurasa juga bukan ingin bergagah-ria menunjukkan keberhasilannya mendidik si anak. Karena toh ia begitu dipenuhi ketakutan dan mungkin bila harus melakukannya lagi pada anaknya yang lain, belum tentu ia tidak dihinggapi lagi dengan ketakutan yang sama. Buku ini, bagaimana mengatakannya ya, sebuah memoar yang, jujur? (bukankah semua memoar sudah seharusnya begitu?) ah, entahlah. Buku ini yang jelas recommended untuk dibaca. Mari Baca :D

David Gilmour dan Jesse anaknya

Judul-Judul Film  pada buku ini kalau-kalau kalian ingin menontonnya:






*****

Tuesday 26 April 2016

Tentang Label "Kutu" pada Pecinta Buku

Belakangan ini kepalaku berisi pertanyaan, mengapa orang-orang yang suka baca disebut kutu buku? Para pecinta buku disamakan dengan “kutu”, ya ampun, bukankah sangat menjijikkan. Bahkan dalam bahasa inggris, para pecinta buku ini harus pasrah dilabeli sebagai “cacing”, bookworm. Padahal aku ndak pernah tuh nemu ada pecinta buku atau pembaca kelas berat yang saking sukanya baca buku terus jalannya jadi melata begitu macam cacing.

Maksudku, ini sama saja dengan pelabelan buruk. Melabeli para pecinta baca dengan konotasi hewan-hewan yang bikin banyak orang geli itu sama saja dengan menanamkan pikiran ke orang-orang bahwa membaca buku itu ndak keren. Ndak masuk akal kan? Nyatanya aku banyak lho bersahabat dengan para maniak buku yang kece-nya sudah tingkat badai. Modish, stylish, amis. Eh, maksudku amis. Eh, maksudku, maksudku, manis. 

Orang yang waras saja, jika semua orang disekitarnya sepakat untuk selalu mengatakan bahwa dia gila, maka si waras itu akan perlahan-lahan mulai meragukan dirinya sendiri. Apa benar ia waras, ataukah seperti yang dikatakan orang-orang, bahwa sebenarnya ia gila.

Nah, pelabelan dengan istilah ndak keren itu, menurutku bisa sangat berbahaya bagi kampanye membaca di Indonesia. Anak-anak keren yang mendapati dirinya suka membaca bisa mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah benar ia keren ataukah memang ia tidak lebih dari hanya sekedar kutu yang menyukai ruang-ruang sepi, asik sendiri, dan mulai membaca. Kemudian sebagaimana teori labelling, ia mulai membuat dirinya menjadi tidak keren sebagaimana yang dilabelkan pada dirinya itu. Ini tipe yang lebih kuat memilih kegemarannya pada baca. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang belum gemar membaca? Mendengar pelabelan semacam itu akan membuat mereka mengurungkan niatnya untuk membaca terlalu banyak. Mereka bahkan menjadi penyumbang terbesar anak-anak yang suka baca enggan menunjukkan ketertarikannya membaca di depan umum. Sebab tipe-tipe yang lebih gemar mempertahankan ke-keren-an versi mereka ini akan mulai mengolok-olok mereka sebagai kutu.

So, saran saya sih simpel saja. Istilah kutu buku itu harus segera dilenyapkan dari muka bumi ini, kisanak dan nyisanak sekalian. Kita ciptakan istilah-istilah baru yang mampu mengangkat harkat dan derajat para pecinta buku kelas berat. Usulan dari saya sih misalnya ganti saja dengan  kembang buku, peselancar buku, penyelam aksara.

Nah, nah, bahkan ideku itu terdengar sangat aneh. Ini menunjukkan pelabelan tersebut sudah sampai pada tahap akut di pikiranku. Atau mungkin saja, istilah paling merdu bagi para pecinta buku ya memang kutu buku itu tadi. Ya sudahlah. Pasrah saja. Baca ya baca saja. Gausah pikir macam-macam, pengen keren segala. -_-



Monday 25 April 2016

[NOVEL] Arok Dedes : Kisah Kudeta Paling Mula-Mula





Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” (Dang Hyang Lohgawe-Arok Dedes hal. 261)

Kemarin akhirnya aku selesaikan juga membaca Arok Dedes, Pramoedya A. Toer. Ini merupakan penamatanku yang kedua kali atas novel tersebut. Akhir April tahun ini akan menjadi tepat sedasawarsa Mas Pram meninggalkan kita, paling tidak aku ingin mengingatnya dengan membaca ulang novel ini. 

Arok Dedes, pastinya terdengar sangat familier di telinga siapa saja di Indonesia (paling tidak aku). Kisah ini mengisi buku-buku sejarah masa SD-ku dulu. Kisah sejarah yang membikin kita berpikir kok bisa perampok dan pembunuh macam Arok menjadi “orang besar”. Yang bisa jadi juga telah menginspirasi beberapa anak kecil untuk tidak menjadi anak baik, karena toh ancaman orang tua dan guru yang menyebut mereka akan jadi “orang gagal” saat menjadi anak nakal terbukti telah terpatahkan oleh kisah sejarah ratusan tahun silam. Ah, dan tentu kisah Ken Arok itu juga, saya rasa, adalah pengilham terbesar akan banyaknya kisah-kisah penuh ajisakti mandraguna di tayangan-tayangan Ind**iar dan MN**V. #halah

Balik ke karya Mas Pram. Novel ini memang berkisah tentang orang yang sama dengan yang kita cerna di buku-buku sejarah itu, tapi dengan cerita yang sama sekali berbeda. Tidak ada mistis-mistis kesaktian keris Empu Gandring. Tak ada kesaktian Ken Arok yang dikarenakan dia adalah keturunan dewa. Buku ini menyajikan kisah Ken Arok serealistis mungkin dan melenyapkan segala unsur mistis. 

Ken Arok mencapai kedudukan dan kebesarannya menggunakan taktik-taktik politik. Berbekal ilmu pengetahuan dari dua orang gurunya, Tantripala dan Dang Hyang Lohgawe, ia yang adalah seorang tani (sudra) bisa naik tingkat menjadi seorang brahmana (kaum yang dianggap sebagai pemilik ilmu). Dengan pengetahuannya ia mulai mempertanyakan apa yang telah dilakukan kaum Brahmana selama ini untuk melawan setelah terus-menerus ditindas oleh Tunggul Ametung.

“Apa guna pengetahuan tanpa pendapat?”

Demikian diutarakan Arok pada Dang Hyang Lohgawe. Maka ia yang telah memenangkan hati gurunya pun mendapatkan restu untuk menjatuhkan Tunggul Ametung yang saat itu berkuasa. Dengan demikian, sepanjang buku ini, kita akan ikut masuk dalam pikiran Arok dan ikut serta pula menyusun taktik kudeta. 

Buku tentang politik yang dituliskan dengan asik. Bikin kita sedikit mengerti mengapa karya-karya Pram ingin sekali dimusnahkan oleh pihak yang berkuasa saat itu. Diselesaikan pada 1976, buku ini menurutku secara tidak langsung mengajarkan dan mengajak untuk melakukan kudeta. Beuh! Seakan-akan bukan Era Soeharto saja. 

Seperti pada beberapa review novel sebelumnya, selain ingin menceritakan sedikit tentang isi buku, aku juga ingin membagi kesukaanku akan tokoh favorit. Pada novel ini, aku jatuh cinta pada tokoh.... Arok. Hahaha. Mainstream ya. Beberapa novel sebelumnya aku selalu jatuh hati pada tokoh-tokoh minor. Tapi di novel ini aku tidak bisa tidak menyukai kecerdikan Arok. Maaf, aku hanya manusia biasa yang terlalu mudah jatuh cinta. 

Meskipun demikian, aku tau para penggemar wanita tangguh pasti banyak yang mengidolakan sang Pramesywari alias Ken Dedes yang cantik jelita, lagi cerdas, lagi tabah itu. Tanpa dia, mana lah ada kudeta itu terjadi. 

Umang si tangguh yang tak cantik rupa tapi kawan Arok paling mula-mula. Oti si budak. Rimang si mantan selir. 

Atau bisa jadi juga menyukai si pendamping setia Arok, Tanca. Ya Tuhan. Tanpa kesetiaan, manalah ada sebuah perlawanan. 

Dan, ah, aku bisa memenuhi tulisan ini dengan tokoh-tokoh dalam novel itu. Tapi tidak, tidak. Tanganku mulai lelah. Catatan ini biar menjadi catatan singkat seperlunya saja tentang buku ini. Aku harap kamu sekalian turut membaca dan menyambung cerita tentang kesukaanmu pada tokoh yang mana. Mundrayana si mata satu, Dang Hyang Lohgawe sang guru yang berkelebihan dan berkekurangan, Tantripala si Budha. Hhh, cukup, cukup. Kadang-kadang, tanganku tidak mau patuh pada pikiranku. Mungkin tanganku perlahan sedang menyusun sebuah kudeta. 

After all, mari baca :)



Thursday 24 March 2016

[MOVIE] Cloud Atlas: Berani Keluar dari Rasa Nyamanmu?

       Sudah berapa lama sejak terakhir kali kalian menonton film yang membingungkan? Kalau sudah lama, sebaiknya kalian mulai lagi menonton jenis film semacam itu dengan film ini. Cloud Atlas. Saat seseorang merekomendasikan film ini saja, dia sampai merasa perlu berkata, “Saya baru paham film ini setelah menonton yang kesekian kalinya.” Film yang memiliki enam setting waktu berbeda ini menurutku sangat inspiratif tapi dengan cara yang membingungkan.

           Mari kita urai sedikit tentang keenam setting di film ini. Setting pertama adalah Pacific Selatan pada 1850, tentang seorang pengacara yang dikhianati orang kepercayaannya dan justru diselamatkan oleh seorang budak yang baru ia kenal. Setting kedua bertempat di Scotlandia pertengahan 1930an, tentang seorang musisi gay muda yang jenius dan mulai mencari pengakuan dengan bekerja pada seorang musisi ternama saat itu. Yang ketiga, 2012, bercerita tentang seorang pengusaha penerbitan yang tiba-tiba menjadi kaya dengan menjual buku memoar seorang penjahat Irlandia tanpa royalti yang layak. Untuk menyelamatkan dia yang dikejar-kejar oleh penjahat tersebut (demi royalti yang layak), sang adik memasukkannya ke sebuah tempat yang awal mulanya ia anggap hotel namun ternyata adalah panti jompo dengan pengamanan yang sangat ketat.

          Set keempat di tahun 1973 dimana ceritanya berpusat pada seorang wartawan investigatif (Halle Berry) yang berusaha mengetahui konspirasi konglomerat yang mengancam dunia. Setting kelima yakni di masa depan, tahun 2146, berlokasi di sebuah kota bernama Brave New Seoul. Masa dimana manusia banyak membuat kloning-kloning hanya untuk digunakan sebagai pelayan/pekerja. Sedangkan setting yang terakhir adalah masa post-apokaliptus di masa depan yang bercerita tentang seorang pria bernama Zachary (Tom Hanks) yang berada di tengah-tengah kelompok yang beradab bahkan ketika mereka dikelilingi oleh para barbar yang kanibal.

        Cloud Atlas adalah film adaptasi dari novel karangan David Mitchell yang kemudian disutradarai oleh Tom Twyker dan The Wachowski. Dengan enam latar waktu yang berbeda-beda ini, kamu bayangkan saja pikiranmu dibawa berjalan-jalan menggunakan rolller coaster waktu. Pada awalnya aku menebak bahwa masing-masing setting di film ini bukan merupakan setting waktu yang berbeda melainkan dunia yang berbeda. Semacam dunia paralel seperti pada film The One yang dibintangi Jet Li.

          Tapi kemudian hipotesisku ini terpatahkan oleh adanya koneksi linier dalam setting waktu yang berbeda seperti antara setting waktu si musisi gay (1930an) dengan setting waktu si wartawan (Halle Berry), 1973. Pada kedua setting waktu berbeda tersebut, kekasih si musisi gay harus mati  di masa depan yang membuat si wartawan menggali lebih jauh tentang kehidupan pribadinya yang kemudian membawanya bertemu dengan musik yang dikomposisi oleh si musisi gay tersebut. 

         Well, di pertengahan film, aku mulai berhenti menebak-nebak. Buat apa memperumit diri sendiri bukan? Aku nikmati saja filmnya. Menikmati bagaimana hampir di setiap setting berbeda tersebut, kamu akan menemukan orang-orang yang berjuang untuk “keluar” dan melawan dunia sekitarnya. Si musisi gay yang berhasil lepas dari musisi tua yang memanfaatkan talentanya. Si manusia kloning yang melakukan perlawanan terhadap manusia yang menganggap mereka tak lebih dari sekedar objek kumpulan protein semata. Si manusia era post-apokaliptus yang bertempur melawan takhayul dan pikiran pribadinya. Si pengacara yang keluar dari zona nyaman dan memutuskan menjadi pembela kalangan afro-america. Si wartawan yang melawan konspirasi politik. Atau si penerbit tua yang lolos dari cengkeraman si adik dan panti jompo yang dikelolanya. 

         Dan di akhir film ini, sebingung apapun kamu telah dibikinnya. Kamu akan mulai lagi bertanya. Hari ini, kenyamanan macam apa yang telah kamu lawan?
         Mari nonton.

Friday 4 March 2016

[MOVIE] Interstellar: Dimana Tempatmu Diantara Bintang-Bintang?

             Direkomendasikan oleh seseorang, aku memilih menonton film ini lebih dulu daripada film yang paling disarankannya. Entahlah, rasanya sudah lama tidak menonton film seperti ini. Maklum, aku sibuk (buahahaha).

           Interstellar merupakan film besutan Christoper Nolan yang juga merangkap sebagai penulis bersama Jonathan Nolan. Dibintangi oleh  Matthew McConaughey sebagai Cooper,  Anne Hathaway  sebagai Amelia Brand, Michael Caine ( Prof. Brand) dan Jessica Chastain (sebagai Murphy dewasa). Selain itu ada juga  Mackenzie Foy sebagai Murphy kecil. Film ini adalah film sci-fi yang heart-taking mengingat aku hampir tidak meninggalkan tempat dudukku sepanjang film ini kuputar.

         Jadi, ceritanya, di masa yang akan datang, bumi sudah mulai sekarat (dalam artian yang sebenarnya). Penyakit tanaman merajalela sehingga mengakibatkan krisis makanan terjadi. 

“We used to look up and wonder about our place in the stars,” Cooper grumbles. “Now we just look down and worry about our place in the dirt.”

 Di sinilah, misi rahasia NASA dilakukan dalam rangka menemukan planet baru pengganti planet bumi. Misi luar angkasa yang dipimpin oleh Cooper ini harus bertarung dengan waktu. Relativitas waktu membuat setiap detik yang mereka lalui di luar angkasa sana sangat berharga, apalagi misi pribadi Cooper adalah menyelamatkan anak-anaknya dari bumi yang sudah tidak bisa ditolong lagi. Semakin banyak waktu yang terbuang, maka bisa jadi anak-anaknya justru telah menua dan mati.

           Sepanjang film yang berdurasi hampir 3 jam ini, perasaan kita turut kacau-balau memikirkan mampu-tidaknya seorang ayah memenuhi misinya. Apalagi dengan konflik yang terjadi dengan si anak yang merasa ditinggalkan. Belum lagi tentang pengkhianatan terencana oleh salah satu astronot pendahulu mereka. Beh. Kacau alam pikiran dibuatnya. Selain itu, hal mengagumkan lain adalah, terlepas dari bahwa ini kisah fiksi, rasa-rasanya tidak ada logika yang tidak masuk akal di film ini (khas Nolan).

Nolan, sang sutradara tampaknya adalah seorang ideolog tulen, visioner, dan pemimpi kelas berat. Sebagai penonton, aku membayangkan bagaimana ide film ini ditemukan. Misalkan saja Bang Nolan sedang guyon sama Nolan lainnya (kedua-duanya bekerja sama sebagai penulis),

“Oi, Bro. Aku lagi bored nih. Kita bikin film yuk?”
“Aku sih ayo-ayo aja. Tapi film tentang apa Kangmas?”
“Kamu tahu reltivitas waktu kan?”
“Tahu, Kangmas.”
“Gravitasi?”
“Tahulah dikit-dikit, Kang.  Dulu sempat bolos sih pas pelajaran itu.”
“Oh, jadi dulu kamu suka bolos sekolah?”
PLAK! (dan cerita berakhir dengan sebuah tamparan)
-_-
Apa sih....

           Haish.. jadi intinya, film ini membuat aku menangis. Tiga kali. Tentu saja itu bukan indikator bagus-tidaknya sebuah film. Aku cuma pengen bilang. Aku tidak mau menangis sendirian, juga tidak ingin hanya aku yang mengagumi si Murphy, atau sendiri merasa istimewa diperlihatkan imajinasi sang Sutradara dan Penulis tentang Lubang Hitam. So, ayo download filmnya, tonton, dan kita bahas sama-sama.

Thursday 3 March 2016

[Movie] 12 Angry Men: Ketika Nyawa Seseorang di Tanganmu

            Film klasik produksi tahun 1957. Film ini menceritakan 12 orang hakim juri yang tengah berdiskusi dalam rangka mengambil keputusan terkait bersalah-tidaknya seorang anak 18 tahun atas pembunuhan ayahnya. Pembunuhan tingkat pertama. Saat itu, hukumannya adalah hukuman mati. Maka, jika kedua-belas hakim juri memutuskan “bersalah”, si anak akan berakhir mati di kursi listrik.

        Hampir seluruh bukti dan kesaksian mengarah pada “bersalah”nya si anak. Dan terbukti, saat pertama kali hakim juri mengambil suara (di sebuah ruang tertutup), suara yang terkumpul adalah 11 : 1 untuk “bersalah”. Hanya ada satu orang saja. Yang bukannya betul-betul menganggap bahwa anak itu tidak bersalah. Tapi merasa ada banyak keraguan-keraguan terkait apa yang dipaparkan dalam persidangan. Keraguan-keraguan yang tidak layak diabaikan dan kemudian mengorbankan satu nyawa.

         Satu suara yang berbeda sendiri ini membuat beberapa juri lain menjadi berang. Ada 12 orang di dalam ruangan terkunci dalam kondisi cuaca “gerah sebelum hujan” (aku tidak tahu kalian memahami frase ini atau tidak). Kedua-belas orang yang berbeda latar belakang pekerjaan; pembuat jam, pialang saham, pembuat iklan, arsitek, dan sebagainya, yang  menjadi juri hanya karena panggilan melalui surat. Karena satu suara “berbeda”, orang-orang ini teraduk-aduk emosi dan logikanya untuk sebuah keputusan hidup dan mati.
         
       Oke, sampai di situ saja spoilernya. Film hitam-putih ini, 98%-nya hanya berlatar tempat di satu ruangan tertutup dimana mereka melakukan proses pengambilan keputusan itu. Menakjubkan bagaimana dalam satu latar saja, emosi kita sebagai penonton dapat ikut terbawa mengikuti plot cerita dan konflik yang kemudian terbangun. Sebelum menonton film ini, aku membayangkan dua jam menonton film yang hanya bertempat di satu lokasi saja. Tanpa narasi dan detail yang kuat atau unsur apapun lainnya yang dimiliki oleh film ini, pastilah sangat membosankan. 

        Disutradarai oleh Sidney Lumet, naskah oleh Reginald Rose. Oh, dan tentu saja tak kalah penting si kameramen keren Boris Kaufman. Kerjasama ketiganya membuat film ini menjadi cemerlang bahkan dengan ide drama sederhananya. Kuatnya narasi yang dibangun Rose dan karakter yang meyakinkan serta sangat natural yang dimainkan oleh para aktor membuat film ini menjadi asik yang tidak boleh dilewatkan para pecinta film.

         Dan, sebagaimana setiap review film yang aku tulis. Aku ingin mengingatkan bahwa aku bukan pengamat film, murni subjektif pribadi tanpa embel-embel teori. Jika suka, mari download filmnya, nonton, dan kita bahas sama-sama. :)

Wednesday 27 January 2016

[Novel] Lelaki Harimau: Biarlah Ia Mati

Lelaki Harimau, karya kedua dari Eka Kurniawan yang aku baca. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, aku membaca Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Novel yang bagus meski bukan novel favoritku. Setelah membaca Seperti Dendam [...] aku berjodoh pula membaca tulisan-tulisan lain Eka, bukan buku, tapi berupa jurnal-jurnal yang ditulisnya. 

Aku menyukai Eka yang seorang pembaca. Selera bacaannya aku sukai dan selalu aku jadikan referensi untuk mencari buku selanjutnya untuk dibeli. Tentu saja, fakta bahwa ia kebanyakan membaca karya dalam bahasa inggris cukup menyusahkan aku untuk mengetahui apakah buku tersebut juga tersedia terjemahan bahasa Indonesianya. Sedangkan Eka yang seorang penulis, aku sukai karena gaya bahasanya yang “lincah” dan “luwes”. Ia mengakui sendiri bahwa dirinya menyukai gaya bahasa pasar dan kesukaannya itu pun terang tergambar dari pemilihan kata dalam novel-novelnya.

Lelaki Harimau. Dari lima halaman awal membaca novel ini, aku sudah langsung membayangkan novel The Chronicle of A Death Foretold (Gabriel Garcia Marquez). Dan di bagian akhir novel dimana Anwar Sadat mengambil porsi lebih besar dalam cerita, aku tetiba ingat Esteban Trueba dalam The House of The Spirits (Isabel Allende). Well, itu pendapatku, tidak perlu membenarkan ataupun menyalahkan. Toh, Eka Kurniawan sendiri adalah penggemar Gabriel. Dan aku rasa tidak ada satu tulisanpun oleh siapapun yang tidak memiliki pengaruh dari penulis lain. (aku tidak pernah membaca ia membahas Isabel Allende. Tentang Anwar Sadat yang mirip Esteban mungkin hanya pendapat berlebihan). Meski begitu boleh dibilang aku lebih menyukai novel ini daripada Seperti Dendam [...].

Buku ini berisi kisah si Margio yang membunuh tetangganya sekaligus bapak kekasihnya, Anwar Sadat. Dalam novel ini Eka dengan mahir menggunakan alur maju-mundur yang perubahan settingnya begitu halus dan seolah-olah mengalir begitu saja dalam pikiran kita. Aku kadang-kadang harus membaca ulang halaman sebelumnya untuk mencaritahu sejak kapan aku dialihkan ke setting waktu atau tempat yang lain. 

Ah, begitulah. Membaca Lelaki Harimau kemudian menjadi tempat kabur yang membawa jauh ke dalam dunia sureal dimana harimau dapat mendekam dalam tubuh manusia. Margio mengelak mengakui bahwa dirinyalah yang membunuh Anwar Sadat melainkan sang harimau. 

Kita semua tahu kebinatangan dalam diri manusia akan muncul saat dia marah. Pembunuhan yang awalnya terdengar tragis karena disebabkan oleh remeh-temeh masalah cinta yang tak direstui, pelan-pelan dibawa Eka menuju sebuah pembenaran yang lebih masuk akal di akhir cerita. Dan kemudian kamu menjadi pembaca yang pengertian. Yang juga turut merestui pembunuhan. Biarlah, toh “ia mati saat bokongnya telah gila dan ada bisul di pikirannya." Mari baca!

Friday 22 January 2016

Masalah Buruh Migran: Semoga tak Hanya Berakhir dalam Doa

Malam tadi (21/1) aku habiskan dengan nonton bareng film pendek Menya(m)bung Nasib di Negeri Orang (Sutradara: Anton Susilo). Film ini kira-kira bercerita tentang nasib seorang gadis remaja yang menjadi buruh migran dikarenakan kondisi ekonomi keluarga mereka yang tidak baik. Yang pada akhirnya justru memberikan nasib buruk pada si gadis. 

Film ini, jika boleh saya menebak, tentu berangkat dari kegelisahan sang sutradara tentang jumlah buruh migran asal NTB yang terus meningkat setiap tahunnya dan pula tingginya tingkat kasus buruh migran yang bernasib naas di negeri seberang. Kegelisahan yang tentu saja beralasan. 

Berkaca dari tahun sebelumnya,  (data tahun 2015 belum rilis- sejauh yang saya tahu) jumlah buruh migran asal NTB 2014 yakni 56.672, meningkat jauh dari yang 2013 sejumlah 45.000 (sumber: antaranews.com). Ini menunjukkan animo masyarakat yang masih tinggi meskipun ragam kasus telah menimpa saudara-saudara kita yang lebih dulu menjadi buruh migran.

Menyalahkan kondisi ekonomi yang tidak baik sebagai alasan menjadi buruh migran tentu menjadi sebuah alasan dangkal tentang kondisi sosial ini. Menjadi buruh migran adalah sebuah pilihan. Cerdas dan-atau tidak cerdas. Diantara ada dan-atau tiadanya pilihan lain. Puisi yang dipentaskan oleh kawan-kawan Sanggar Teater Samawa semalam pun sedikit banyak menyalahkan minimnya lapangan pekerjaan sebagai penyebab tingginya angka buruh migran asal NTB ini. 

Cerdas dan-atau tidak cerdas. Saya katakan demikian karena selain merasa sedih dengan banyaknya kejadian buruk yang menimpa saudara-saudara kita di luar sana, saya juga mengenal dan tahu bahwa ada banyak buruh migran indonesia yang bernasib baik (nasib?). Para buruh migran ini memilih menjadi buruh migran. Disebabkan baiknya nasib yang mereka dapatkan sebelumnya. Atau mendengar kisah-kisah baik dari para rekan mereka yang sudah berada di sana. Apakah ini cerdas? Memilih dengan melalui sebuah rangkaian pertimbangan menurut saya adalah sebuah upaya menentukan pilihan secara cerdas. 

Dan tentu tidak cerdas jika tanpa dibarengi proses demikian. Apakah ada yang seperti itu? Tentu banyak. Terlepas dari anomali-anomali semacam yang diangkat oleh Mas Anton (akrabnya), bahwa banyak yang memalsukan umur, buruh migran kita adalah orang-orang dewasa yang seringkali tidak memiliki cukup pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan, situasi negara tujuan, atau hal-hal krusial yang mereka butuhkan. 

Ada dan-atau tiadanya pilihan lain. Bukankah sering kita mendengar bahwa Indonesia tidak menyediakan cukup lapangan perkerjaan bagi masyarakatnya. Atau bukankah sering pula kita mendengar tingginya jumlah pengangguran. Atau sekedar keluh-kesah tetangga kita tentang anak-keponakan-cucu-saudara nya yang belum juga mendapatkan pekerjaan. Menjadi buruh migran sering disandingkan dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain di negeri sendiri. Ingin menjadi petani, lahan sudah habis terjual, menjadi buruh tani mungkin tak mampu mencukupi. Sedangkan pekerjaan lain tak mampu dilakoni. 

Atau apakah iya kesempatan itu tidak ada? Seringkali ketika saya bertemu pemilik sebuah usaha, mereka menceritakan betapa sulitnya mereka menemukan tenaga untuk membantu mereka. Ini tentu bukan masalah ijazah. Sebab bahkan para pemegang ijazah sekolah tinggi pun banyak yang menganggur.
***
Baik dari cerdas-tidak cerdasnya pilihan menjadi buruh migran atau ada-tiadanya pilihan lain selain itu, kedua hal ini saya rasa bermuara pada tingkat pendidikan masyarakat.  Tentang pendidikan ini tentu sudah sering kita dengar tiap kali bahasan terkait buruh migran digelar. Pemerintahan Jokowi bahkan dikatakan sangat menaruh perhatian pada nasib buruh migran Indonesia. Balai-balai latihan kerja digalakkan untuk mempersiapkan para buruh migran, dan buruh migran non-prosedural dipangkas sebisa mungkin.

Tapi menurutku, jika ingin hal baik menimpa buruh migran kita ke depannya. Bukan hanya pendidikan pra-keberangkatan saja yang perlu dilakukan. Upaya preventif yang jauh lebih kuat-lah yang dibutuhkan. Pendidikan yang jauh lebih mengakar-lah yang harus dilakukan. Yakni pendidikan sejak dini. Pendidikan yang mampu membuka pikiran anak-anak sedari dini bahwa pekerjaan (atau pun kesempatan) tak melulu harus dicari tapi terkadang perlu diciptakan. 
 
Jika negara tidak mampu hadir untuk memfasilitasi hal ini. Kacaulah negara kita. Sebab, masalah pendidikan yang saya bicarakan ini juga menjadi masalah mengapa terorisme semakin marak itu. Atau juga menjadi penyebab minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia yang tentu mengganggu kehidupan ekonomi masyarakatnya. Atau juga ingin menyebutkan masalah paling kronis bangsa ini- karakter merasa rendah, merasa kalah, merasa miskin- yang menyebabkan banyak orang korupsi, menyebabkan banyak orang merasa inferior di hadapan asing.

Dan, tentu apalah arti segudang teori tanpa dijalani. Mengutip kata Sukarno, “Revolusi tidak datang hanya karena kita berteriak-teriak Revolusi...revolusi...revolusi sampai mati.” Marilah kita anggap kita tengah berjuang melakukan upaya revolusi (mental?). Maka jangan hanya berteriak-teriak saja. Teori-teori saja. Tapi juga butuh perbuatan. Atau tentu kita tidak mau pula tragedi-tragedi naas yang menimpa buruh-buruh migran Indonesia berakhir dalam sebuah doa, sebagaimana Sanggar Teater Samawa menutup pentas teatrikalnya semalam. 

Apapun itu, pada akhir tulisan ini, perkenankan saya atas nama pribadi mengucapkan selamat dan sukses atas pemutaran dan diskusi film Menya(m)bung Nasib di Negeri Orang semalam. Mas Anton Susilo, melalui film ini telah “berbuat”. Semoga perbuatannya mengakar, menjalar, dan tumbuh  menjadi sesuatu yang hebat. Dan tentu saja karena acara semalam juga merupakan rangkaian perayaan HUT Kabupaten Sumbawa ke-57, saya yang lahir dan besar di Sumbawa ini juga  mengucapkan Dirgahayu Kabupaten Sumbawa tercinta. Dirgahayu. Dirgahayu. Hingga nanti-nanti.


Monday 18 January 2016

Ah, Perempuan!


Sarinah. Baru-baru ini terjadi ledakan bom bunuh diri di tempat itu, yang pula memakan tujuh orang korban meninggal dunia. Diberi-nama oleh Sukarno, bapak bangsa kita, dengan nama pengasuhnya dulu saat ia masih kanak-kanak. Sarinah. Diharapkan jadi tempat berkumpulnya masyarakat kecil dimana kebutuhan mereka dapat mudah mereka temui (demikian cita-citanya). Sarinah. Bernama sama dengan buku ini.

Siapa yang tak kenal Sukarno sebagai seorang pecinta wanita tersohor (aku tidak tahu pasti berapa jumlah istrinya). Tetapi ia tidak hanya mencintai wanita sebagaimana makna cinta yang dikenal banyak orang (meskipun tentu tak lepas dari itu). Cintanya membuat ia memikirkan “jalan”, memikirkan “lorong”, yang harus ditempuh para wanita untuk kesejahteraan mereka sendiri.

Buku ini, menurutku, menjadi kado Sukarno pada wanita Indonesia, yang kalaulah boleh kubilang mungkin merupakan hal ketiga yang paling dicintainya (setelah Tuhan dan Indonesia itu sendiri).

Buku ini ditulis di bawah cahaya lilin saat umur proklamasi kita masih berumur sekiranya dua setengah tahun. Ia terangkan dan jadikan landasan bahwasanya kondisinya menulis di bawah cahaya lilin adalah seterang-terangnya alasan bahwa masih banyak yang harus diperbuat oleh Bangsa Indonesia meski telah merdeka. Dan di dalam perbuatan-perbuatan-perlu di masa yang akan datang itu, tidak lah dapat berhasil tanpa keterlibatan wanita.

Kondisi wanita pada saat itu, tidak hanya di Indonesia tapi hampir di seluruh belahan dunia, ialah menjadi kaum tertindas dari laki-laki. Dampak dari kebablasannya patriarkat yang dianut oleh sebagian besar adat-istiadat manusia. Wanita seringkali dinyatakan sebagai, berdasarkan perkataan Prof Havelock Ellis (dikutip dalam buku ini), “suatu belasteran antara seorang dewi dan seorang tolol”. Maka pada sekitaran abad 18 mulailah muncul perlawanan-perlawanan dari kaum wanita ini.

Dipaparkan dalam buku ini, sejarah singkat pergerakan wanita di dunia. Kebanyakan mengambil contoh di Jerman, sebab di sanalah perjuangan wanita sering ditengok pada masa-masa itu. Karena kuatnya landasan pergerakan. Karena kuatnya semangat berjuang.

Terdapat tiga tingkatan pergerakan wanita, merujuk pada buku ini.

Tingkatan pertama ialah pergerakan yang sangat lemah atau bila perlu tidak dinamakan pergerakan. Sukarno bahkan menyebutnya “main putri-putrian”. Pada tingkatan ini, para wanita-wanita ningrat berkumpul dalam suatu klub-klub atau perkumpulan dimana mereka menghabiskan waktu mengusir rasa bosan. Berusaha menyempurnakan diri sebagai perempuan agar ia disukai laki-laki dan tidak direndahkan. “Sama sekali jauh terasing dari massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik apapun.”

Kemudian adalah tingkatan kedua, yakni tingkatan yang lebih sadar membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Tidak hendak “menyempurnakan” kaum perempuan buat kesempurnaan pengabdian pada kaum laki-laki, tetapi satu tingkatan yang lebih sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki, dalam hal menempati lapangan-lapangan pekerjaan dan hak pilih.

Gerakan ini ialah gerakan feminisme. Gerakan ini melihat laki-laki sebagai lawan. Yang kemudian gerakan ini mulai pudar sebab timbulnya kesadaran di kalangan perempuan proletar bahwa penggerak feminisme pada dasarnya adalah perempuan kelas borjuis yang ingin mendapatkan hak yang sama dengan yang dimiliki oleh suami mereka. Maka gerakan ini bukan semata-mata pergerakan yang utuh dari kaum perempuan melainkan perjuangan kelas dari kaum perempuan borjuis.

Kaum perempuan proletar sendiri sudah dapat turut serta dalam kegiatan produksi masyarakat dalam industri-indusri. Namun yang mereka butuhkan lagi adalah pemanusiaan pekerjaan mereka (saat itu mereka ada yang bekerja hingga 12 jam sehari). Bekerja semacam kuda beban seperti itu yang belum lagi ditambah dengan pekerjaan rumah tangga yang menunggu di rumah membuat ada “retak” dalam jiwa mereka.

Maka tidak puaslah kaum perempuan proletar dan lahirlah tingkatan pergerakan perempuan yang ketiga, yakni gerakan perempuan yang tidak hanya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Gerakan ini menuntut perubahan susunan masyarakat sama sekali. Sebab apalah gunanya persamaan hak saja kalau toh perempuan dan juga laki-laki, kedaa-duanya, sebagai kelas, tertindas.

Gerakan ini kemudian terus berkembang (bersamaan dengan gerakan sosialis) dengan menjadikan hak memilih dan dipilih sebagai tujuan paling dekatnya untuk mencapai tujuan akhirnya yakni suatu susunan masyarakat yang sama sekali baru. Gerakan ini tidak menjadikan laki-laki sebagai musuhnya melainkan berjuang bersamaan dengan laki-laki.

Demikianlah tiga tingkatan pergerakan perempuan menurut Sukarno, sang agitator ulung. Ia berapi-api memaparkan dalam bukunya ini bahwa hanya dalam masyarakat sosialis lah para wanita dapat menemukan kebahagiaannya. Ia memuji-muji tingakatan ketiga dan berharap perempuan Indonesia segera dapat mencapai tingkatan itu.

Terbukanya kesadaran perempuan itu penting terlebih saat itu Bangsa Indonesia tengah membutuhkan seluruh segenap jiwa-jiwa yang ada di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sukarno mengutip berulang-ulang kata-kata Gandhi, “Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaannya wanita kita…” dan juga kata-kata Lenin, “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai.”

Tetapi, “siapa yang dapat menolong wanita jika wanita sendiri tidak memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak beraksi, tidak pula mencari jalan?”

“Hai, wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner,-tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner jika tiada pedoman revolusioner!”

Ah, Perempuan. Sudahlah ada pedoman revolusioner melalui buku ini (saya kira), maka sudahkah Kamu menjadi wanita revolusioner?

Judul Buku        : Sarinah
Penulis              : Ir. Sukarno
Penerbit            : Yayasan Bung Karno bekerjasama dengan Penerbit Media Pressindo
Tahun Terbit     : 2014 (cetakan baru, buku ini juga memiliki cetakan lama dengan ejaan lama)

Saturday 2 January 2016

[Novel] Little Women: Empat Bersaudara yang Mempesona


Buku yang kubeli dari seorang teman ini malah lebih dulu kupinjamkan daripada kubaca sendiri. Maka, kuputuskan, proyek membaca akhir tahunku adalah menyelesaikan membaca Little Women yang telah kutunda demikian lama. Proyek ini terlaksana, meskipun target selesai dalam sehari harus bergeser menjadi dua hari akibat banyaknya undangan (baca: gangguan) pesta akhir tahun.

Keluarga March adalah keluarga Amerika sederhana di abad 19. Sang ayah harus mengikuti tugas ketentaraan, sehingga rumah mereka hanya dihuni sang ibu (marmee), dan 4 gadis bersaudara, serta Hannah pelayan mereka. Keempat bersaudara itu mewarnai kehidupan rumah sederhana mereka dengan keceriaan.

Kisah ini dimulai pada malam natal. Meg si gadis sulung yang cantik jelita. Jo yang tomboy. Beth si pecinta musik. Dan Amy sang seniman cilik. Mereka berempat cenderung suka mengeluhkan hal-hal yang harus mereka jalani sehari-hari. Meski demikian mereka adalah orang-orang yang tulus dan penyayang.

Dalam satu tahun, mereka mengalami berbagai macam hal yang pelan-pelan membantu mereka menghilangkan sifat buruk masing-masing. Semua itu tentu tak lepas dari peran sang ibu yang penyayang yang dengan sabar membimbing mereka melalui segala macam hal.

Novel ini adalah novel bertema drama keluarga berisi tokoh-tokoh wanita realis yang dapat dikatakan tidak lazim di zamannya. Amerika saat itu (abad 19) dipenuhi dengan karya-karya fiksi yang menceritakan tokoh wanita dengan sifat sempurna layaknya dalam dongeng penuh khayalan. Louisa May Alcott berhasil keluar dari arus utama dan menghadirkan kisah ini pada kita.

Meski aku tidak bisa bilang bahwa aku menyukai buku ini dengan sangat, namun buku ini masih masuk dalam kategori bagus menurut standarku. Ada banyak pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik dengan mengikuti kisah para gadis keluarga March. Dan karena bersifat realis, maka hal-hal tersebut sangat dekat dengan apa yang kita alami sehari-hari.

Tentu saja karena aku merasa paling mirip dengan karakter Jo, maka dialah yang paling banyak memberikanku pelajaran. Tentang bagaimana megontrol emosi, bertangungjawab pada adik-adik, dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaan.

Selain mendapat pelajaran memperbaiki diri bersama Jo, aku juga merasa dekat dengan karakter-karakter lainnya. Betapa aku menyukai Meg yang menggugurkan anggapan bahwa gadis yang cantik “di luar” tidak bisa sekaligus cantik “di dalam”. Betapa aku mencintai Beth yang pemalu dan tidak pernah menunda kebaikan. Dan tentu saja tak ketinggalan Amy yang sangat keras kepala tapi mampu mengatasi keegoisannya setelah berjuang keras.

Saat mengingat kembali isi cerita novel ini, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Entahlah, meskipun aku menyukai drama keluarga ini, dengan terjemahan yang baik pula, aku merasa  buku ini kurang memberikan kepuasan. Ah, mungkin karena bukan seleraku saja. Tapi bisa jadi selera kawan-kawan semua. Mari Baca :D

Judul                                : Little Women
Penulis                             : Louisa May Alcott
Penerjemah                      : Utti Setiawati
Penerbit                           : Penerbit Qanita