Saturday 10 December 2011

Lakon Ibu dan Anak Teruntuk Para Anggota Dewan

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB)

Para anggota dewan kita (DPRD NTB) saat ini sedang melakonkan peran anak-anak dengan lihai.  Di tengah kondisi masyarakat yang sulit mereka justru menunjukkan sikap layaknya seorang anak kecil yang meminta ini-itu pada sang ibu.
Beberapa waktu lalu saat menuntut dibangunnya rumah dinas mereka, “(merengek) Buatin aku rumah, hiks. Aku mau rumah di Udayana tuuuu. Masa’ udah capek-capek duduk di kantor buat pikirin rakyat tapi gamau dikasih rumah sich. Aku mau rumah. Pokoknya aku mau rumah. Titik.”
Saat rumahnya sudah jadi, “(merengek lagi) Aku gamaaaaauuuu. Rumahnya kecil. Kamar mandinya cuma satu. Ga disediakan AC. Hiks. Gada lapangan bolanya jugaaaa. Aku gamau tinggal di rumah jelek kayak gitu. Titik.”
Dan akhirnya, “Saya mau deeeeh ga ngambek gara-gara rumah jelek tuu. Tapi naekkan tunjangan perumahan yaaaa. Masa’ kita cuma dapat 4 juta siiih. Daerah kita tu yang paling kecil tunjangan perumahannya tau’. Ntar ketahuan lagi lok kita miskin. Kan maluuuu. Gimana kalau dinaekkan jadii, hmm, jadi brapa yaaa, hmm, 12 jutaaaaaa.Oke? Pokoknya harus 12 juta. Titik.”
Para anggota dewan daerah kita yang terhormat masih terus saja merengek meminta hal-hal demi kepentingannya belaka. Tapi yang perlu diperhatikan disini adalah siapa gerangan yang akan memerankan sosok ibu dalam lakon diatas? Rakyat. Ya, rakyatlah yang akan menanggung apa-apa yang diminta oleh para anggota dewan. Layaknya seorang ibu yang menyediakan apa-apa yang diminta oleh sang anak.
Permintaan yang tinggi memang tidak akan menjadi permasalahan jika diminta pada ibu yang mampu. Akan tetapi, Rakyat NTB ini agaknya belum memenuhi kriteria tersebut. Angka gizi buruk di NTB masih tinggi. Demikian pula angka Indeks Pembangunan Manusia yang kita tahu bersama dimana posisinya. Belum lagi angka-angka lainnya yang menunjukkan demikian terpuruknya kondisi masyarakat NTB saat ini.
Kita ketahui pula bahwa beberapa waktu terakhir ini pemerintah Indonesia telah memutar otak demi memikirkan cara-cara penghematan dalam rangka mencegah kebangkrutan yang telah mengindikasi beberapa daerah. Alhasil, banyak langkah-langkah penghematan yang berimbas bagi masyarakat luaspun diambil. Intinya, hemat, hemat, dan hemat.
Moratorium pegawai negeri misalnya. Pelaksanaan moratorium selama beberapa waktu ini kenyataannya telah membuat kesulitan beberapa daerah yang memang sangat membutuhkan. Beberapa sekolah di daerah Lombok Tengah terpaksa harus menerima pasrah kondisi kurangnya tenaga pengajar di daerahnya karena tidak akan ada kemungkinan penambahan jumlah akibat adanya moratorium.
Belum lagi penghapusan tunjangan bagi tenaga pengajar di daerah terpencil yang baru-baru ini dijalankan. Meskipun kita dapat berdalih bahwa guru memang seharusnya tanpa pamrih apalagi dengan adanya program sertifikasi saat ini, namun adanya penghapusan tunjangan tersebut rasanya akan memperparah keengganan tenaga pengajar untuk mengabdi di daerah-daerah terpencil dengan kondisi tenaga pengajar yang sangat kekurangan.
Lihatlah betapa demi upaya penghematan ini banyak pihak yang telah berkorban (jika tidak ingin dikatakan dikorbankan). Bukan sembarang pengorbanan, tapi kita berbicara masalah pengorbanan di bidang pendidikan yang selama ini selalu dielu-elukan sebagai sesuatu yang akan menjadi puncak perjuangan demi peningkatan harkat dan martabat bangsa. Meski demikian, toh kenyataan-kenyataan yang saya paparkan di atas tidak menjadi pertimbangan untuk menginternalisasi upaya penghematan di tubuh DPRD NTB.
Kembali lagi  ke permasalahan rencana kenaikan tunjangan perumahan anggota dewan daerah NTB, kita sebenarnya bisa saja menarik perbandingan dengan daerah lain yang kondisinya jauh lebih baik seperti Lampung. Mereka hanya memiliki tunjangan perumahan sebesar 6,8 juta per bulan. Besaran ini diterapkan oleh Lampung yang dapat dikatakan salah satu pemilik PAD tertinggi di Indonesia.
Tapi memang, trend meminta kenaikan tunjangan perumahan ataupun tunjangan-tunjangan lain bagi anggota dewan ini sedang terjadi di beberapa daerah seperti Kaltim dan daerah-daerah lain. Beberapa beralasan bahwa ini adalah demi peningkatan kinerja. Padahal seharusnya dengan segala kemewahan yang diberikan kepada anggota dewan saat ini, kinerja yang baik itu sudah tidak sepatutnya lagi menjadi alasan tuntutan melainkan sebuah kewajiban yang mutlak, harus, kudu’, musti diberikan pada si pemberi amanat yakni rakyat.
Atau ada pula yang berdalih bahwa tunjangan perumahan mereka (anggota dewan tersebut) merupakan tunjangan terendah dibandingkan daerah-daerah lain. Hal ini tentunya tidak ada yang boleh mengaku lebih tahu dibandingkan mereka, karena mereka mengatakan hal tersebut berdasarkan hasil study banding yang telah dijalani.
Nah, inilah yang terjadi bila study banding yang dilakukan para anggota dewan daerah yang terhormat hanya sekedar melihat kemewahan-kemewahan yang ada di daerah lain tanpa melihat hal-hal yang mendukung adanya kemewahan itu. Parahnya yang dilihat adalah kemewahan anggota dewan daerah lain yang akhirnya membikin iri dan ingin mendapatkan hal yang sama.
Tapi yah saya rasa kita tidak perlu berburuk sangka terhadap niatan DPRD NTB terkait kenaikan tunjangan ini. Mungkin saja mereka hanya tidak ingin dikatakan ketinggalan zaman karena tidak mengikuti trend yang sedang berlangsung saat ini. Mungkin.

Sunday 26 June 2011

Bhineka Tunggal Ika: Antara Teori dan Fakta


Bhineka Tunggal Ika. Kalimat sakti ini telah diajarkan oleh Bapak Ibu guru kita semasa menduduki bangku SD. Banyak yang mengaku telah memahami arti sesungguhnya dari kalimat tersebut. Akan tetapi benarkah demikian? Sudahkah kalimat itu menjadi satu dengan darah dan daging kita sebagai seorang warga negara Indonesia?  Rasanya perlu bila kita meninjau ulang prilaku kita beberapa tahun belakangan ini.

Sunday 13 March 2011

Pemimpin dalam Balutan Tiga Per(b)an


Kepemimpinan seperti apa sebenarnya yang bangsa ini butuhkan untuk membuat sebuah perubahan? Tidakkah ini merupakan pertanyaan yang terlalu lugu bagi sebuah negara yang telah menginjak usia 65 tahun ini. Bayangkan saja, dalam usia rata-rata batas hidup rakyatnya,