(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara NTB)
Para
anggota dewan kita (DPRD NTB) saat ini sedang melakonkan peran anak-anak dengan
lihai. Di tengah kondisi masyarakat yang
sulit mereka justru menunjukkan sikap layaknya seorang anak kecil yang meminta
ini-itu pada sang ibu.
Beberapa waktu lalu saat menuntut dibangunnya rumah dinas mereka, “(merengek) Buatin aku rumah, hiks. Aku mau rumah di Udayana tuuuu. Masa’ udah capek-capek duduk di kantor buat pikirin rakyat tapi gamau dikasih rumah sich. Aku mau rumah. Pokoknya aku mau rumah. Titik.”
Beberapa waktu lalu saat menuntut dibangunnya rumah dinas mereka, “(merengek) Buatin aku rumah, hiks. Aku mau rumah di Udayana tuuuu. Masa’ udah capek-capek duduk di kantor buat pikirin rakyat tapi gamau dikasih rumah sich. Aku mau rumah. Pokoknya aku mau rumah. Titik.”
Saat rumahnya sudah
jadi, “(merengek lagi) Aku gamaaaaauuuu.
Rumahnya kecil. Kamar mandinya cuma satu. Ga disediakan AC. Hiks. Gada lapangan
bolanya jugaaaa. Aku gamau tinggal di rumah jelek kayak gitu. Titik.”
Dan akhirnya, “Saya mau deeeeh ga ngambek gara-gara rumah
jelek tuu. Tapi naekkan tunjangan perumahan yaaaa. Masa’ kita cuma dapat 4 juta
siiih. Daerah kita tu yang paling kecil tunjangan perumahannya tau’. Ntar
ketahuan lagi lok kita miskin. Kan maluuuu. Gimana kalau dinaekkan jadii, hmm,
jadi brapa yaaa, hmm, 12 jutaaaaaa.Oke? Pokoknya harus 12 juta. Titik.”
Para
anggota dewan daerah kita yang terhormat masih terus saja merengek meminta
hal-hal demi kepentingannya belaka. Tapi yang perlu diperhatikan disini adalah
siapa gerangan yang akan memerankan sosok ibu dalam lakon diatas? Rakyat. Ya,
rakyatlah yang akan menanggung apa-apa yang diminta oleh para anggota dewan.
Layaknya seorang ibu yang menyediakan apa-apa yang diminta oleh sang anak.
Permintaan
yang tinggi memang tidak akan menjadi permasalahan jika diminta pada ibu yang
mampu. Akan tetapi, Rakyat NTB ini agaknya belum memenuhi kriteria tersebut. Angka
gizi buruk di NTB masih tinggi. Demikian pula angka Indeks Pembangunan Manusia
yang kita tahu bersama dimana posisinya. Belum lagi angka-angka lainnya yang
menunjukkan demikian terpuruknya kondisi masyarakat NTB saat ini.
Kita
ketahui pula bahwa beberapa waktu terakhir ini pemerintah Indonesia telah
memutar otak demi memikirkan cara-cara penghematan dalam rangka mencegah
kebangkrutan yang telah mengindikasi beberapa daerah. Alhasil, banyak
langkah-langkah penghematan yang berimbas bagi masyarakat luaspun diambil. Intinya,
hemat, hemat, dan hemat.
Moratorium
pegawai negeri misalnya. Pelaksanaan moratorium selama beberapa waktu ini
kenyataannya telah membuat kesulitan beberapa daerah yang memang sangat
membutuhkan. Beberapa sekolah di daerah Lombok Tengah terpaksa harus menerima
pasrah kondisi kurangnya tenaga pengajar di daerahnya karena tidak akan ada
kemungkinan penambahan jumlah akibat adanya moratorium.
Belum
lagi penghapusan tunjangan bagi tenaga pengajar di daerah terpencil yang
baru-baru ini dijalankan. Meskipun kita dapat berdalih bahwa guru memang
seharusnya tanpa pamrih apalagi dengan adanya program sertifikasi saat ini,
namun adanya penghapusan tunjangan tersebut rasanya akan memperparah keengganan
tenaga pengajar untuk mengabdi di daerah-daerah terpencil dengan kondisi tenaga
pengajar yang sangat kekurangan.
Lihatlah
betapa demi upaya penghematan ini banyak pihak yang telah berkorban (jika tidak
ingin dikatakan dikorbankan). Bukan sembarang pengorbanan, tapi kita berbicara
masalah pengorbanan di bidang pendidikan yang selama ini selalu dielu-elukan
sebagai sesuatu yang akan menjadi puncak perjuangan demi peningkatan harkat dan
martabat bangsa. Meski demikian, toh kenyataan-kenyataan yang saya paparkan di
atas tidak menjadi pertimbangan untuk menginternalisasi upaya penghematan di
tubuh DPRD NTB.
Kembali
lagi ke permasalahan rencana kenaikan
tunjangan perumahan anggota dewan daerah NTB, kita sebenarnya bisa saja menarik
perbandingan dengan daerah lain yang kondisinya jauh lebih baik seperti Lampung.
Mereka hanya memiliki tunjangan perumahan sebesar 6,8 juta per bulan. Besaran
ini diterapkan oleh Lampung yang dapat dikatakan salah satu pemilik PAD
tertinggi di Indonesia.
Tapi
memang, trend meminta kenaikan
tunjangan perumahan ataupun tunjangan-tunjangan lain bagi anggota dewan ini
sedang terjadi di beberapa daerah seperti Kaltim dan daerah-daerah lain.
Beberapa beralasan bahwa ini adalah demi peningkatan kinerja. Padahal
seharusnya dengan segala kemewahan yang diberikan kepada anggota dewan saat
ini, kinerja yang baik itu sudah tidak sepatutnya lagi menjadi alasan tuntutan
melainkan sebuah kewajiban yang mutlak, harus, kudu’, musti diberikan pada si pemberi amanat yakni rakyat.
Atau
ada pula yang berdalih bahwa tunjangan perumahan mereka (anggota dewan
tersebut) merupakan tunjangan terendah dibandingkan daerah-daerah lain. Hal ini
tentunya tidak ada yang boleh mengaku lebih tahu dibandingkan mereka, karena
mereka mengatakan hal tersebut berdasarkan hasil study banding yang telah
dijalani.
Nah,
inilah yang terjadi bila study banding yang dilakukan para anggota dewan daerah
yang terhormat hanya sekedar melihat kemewahan-kemewahan yang ada di daerah
lain tanpa melihat hal-hal yang mendukung adanya kemewahan itu. Parahnya yang
dilihat adalah kemewahan anggota dewan daerah lain yang akhirnya membikin iri
dan ingin mendapatkan hal yang sama.
Tapi
yah saya rasa kita tidak perlu
berburuk sangka terhadap niatan DPRD NTB terkait kenaikan tunjangan ini. Mungkin
saja mereka hanya tidak ingin dikatakan ketinggalan zaman karena tidak
mengikuti trend yang sedang
berlangsung saat ini. Mungkin.