Sunday 13 March 2011

Pemimpin dalam Balutan Tiga Per(b)an


Kepemimpinan seperti apa sebenarnya yang bangsa ini butuhkan untuk membuat sebuah perubahan? Tidakkah ini merupakan pertanyaan yang terlalu lugu bagi sebuah negara yang telah menginjak usia 65 tahun ini. Bayangkan saja, dalam usia rata-rata batas hidup rakyatnya,
Indonesia masih saja mempertanyakan hal itu. Masih meraba-raba. Masih berupaya. Karena faktanya, tak ada perubahan berarti yang terjadi pada bangsa ini sejak para founding fathers kita membacakan proklamasi.
“Orang yang hanya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik disebut sebagai pekerja. Orang yang hanya dapat mengajarkan sesuatu disebut sebagai guru. Orang yang hanya dapat mengatur kita katakan sebagai manajer. Sedangkan pemimpin adalah orang yang dapat menjadi ketiganya dengan baik secara bersamaan.”
Demikianlah seorang kawan mengajarkan kepada saya mengenai sosok seorang pemimpin seharusnya. Seorang pemimpin, sebagaimana yang dijelaskan dalam kata-kata tersebut, harus melakukan tiga pekerjaan besar sekaligus agar mampu memberikan pengaruh positif pada orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam pribadi pemimpin-pemimpin Indonesia saat ini, apakah hal tersebut telah ada? SBY, kita ambil sebagai contoh, mungkin saja Memiliki popularitas yang cukup tinggi, sehingga ia dapat terpilih sebagai presiden selama dua periode kepemimpinan. Tetapi, coba kita analisa sejenak kebijakan-kebijakannya dalam perspektif tiga peran yang telah saya sebutkan tadi.
 Mengenai perannya sebagai guru bagi rakyatnya. Menjadi guru, dalam hal ini, bukan berarti ia harus masuk ke sekolah-sekolah dan memberikan materi baik dengan metode ceramah atau metode-metode lainnya yang telah berkembang, melainkan menunjukkan sikap, prilaku, kearifan, dan lain sebagainya yang mampu menjadi contoh bagi rakyatnya.
SBY belum mampu memberikan sebuah contoh sikap yang baik. Ia lambat dalam megambil sebuah tindakan seperti dalam kasus mafia pajak maupun kerusuhan SARA, sehingga mengakibatkan rakyat Indonesia telah kehilangan kepercayaan terhadap negaranya sendiri. Ia juga seakan-akan memerankan diri sebagai dalang. Ia membiarkan orang-orangnya beradu mulut tentang sebuah isu-isu hangat (yang bahkan seringkali terlihat sengaja dimunculkan) dan cukup melihat bagaimana reaksi publik. Baru-baru ini, di tengah banyaknya isu/kasus besar yang belum tuntas, muncul pernyataan dari sekretaris kabinet, Dippo Alam, yang mengatakan keinginan untuk memboikot media massa yang dianggap telah merusak image presiden. Sungguh lucu, bukan? Di tengah banyaknya masalah yang dihadapi bangsa, SBY justru memikirkan imagenya di mata publik! Wow! Lantas, pelajaran apa yang diambil oleh masyarakat dari sikapnya ini?
SBY, saya akui berhasil membangun sebuah image yang sangat baik di hati masyarakat dengan berbagai kebijakan-kebijakan populer. Adanya program sertifikasi guru yang membuat namanya dipuja-puja oleh para “pahlawan tanpa tanda jasa” dan komitmen pemberantasan korupsi yang menurut hemat saya menjadi popularitas terbesarnya sehingga kembali terpilih, tak lain hanyalah sekedar keijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk mengambil hati rakyat semata. Pada kenyataannya, kebijakan-kebijakan tersebut justru menciptakan sebuah kontradiksi yang lambat laun diketahui publik. Sebutlah kasus Century gate yang melibatkan “orang-orang SBY”, hingga kini belum terlihat penyelesaiannya. Seakan-akan orang-orang itu tabu untuk disentuh oleh hukum.
Dalam menjalankan peran sebagai pekerja yang baik, pemimpin-pemimpin di negeri ini seharusnya tidak ragu untuk turun ke masyarakat dalam rangka melihat kenyataan yang terjadi di negerinya. Para pemimpin tidak seharusnya mempercayai begitu saja data-data yang mereka terima di atas kertas, yang seringkali dimanipulasi untuk mendapatkan angka yang bagus sementara kenyataannya tidak demikian. Mereka harus dengan rela menjalankan fungsi dan perannya tanpa pamrih apapun (bukan berarti tidak digaji) selain melihat rakyatnya sejahtera. Maka, tidak seharusnya pemimpin di negeri ini mengeluh mengenai gaji yang tidak kunjung naik sementara rakyatnya bahkan belum tentu mampu mencukupi kebutuhan makannya per hari.
Pemimpin yang baik, dalam perannya sebagai manajer, seharusnya juga memikirkan bagaimana menjaga keseimbangan pembangunan yang terjadi di Indonesia ini. Apalagi bila mengingat bahwa wilayah negara ini sangatlah luas dengan topografi beragam. Ada banyak wilayah yang bahkan belum tersentuh. Sudah 65 tahun Indonesia merdeka tapi pembangunan di negeri ini terkesan hanya diperuntukkan bagi saudara-saudara kita yang ada di Pulau Jawa saja. Pembangunan infrastruktur pendidikan wilayah timur cenderung tertinggal namun pemerintah berpaling dari kenyataan yang ada dengan menyetarakan system evaluasinya dalam bentuk UAN.
Mungkin terlalu banyak kata ‘seharusnya’ dalam tulisan ini. Tapi paling tidak begitulah gagasan saya mengenai bagaimana pemimpin Indonesia seharusnya. Tidak pamrih dalam bekerja, tidak menjadi sosok yang palsu dalam menjadi panutan maupun guru bagi rakyatnya, serta tidak timpang dalam mengelola wilayahnya. Dengan begitu, harapan saya bagi terbentuknya Indonesia yang maju di segala hal mungkin akan dapat terwujud. Semoga. 

0 comments: