Kepemimpinan
seperti apa sebenarnya yang bangsa ini butuhkan untuk membuat sebuah perubahan?
Tidakkah ini merupakan pertanyaan yang terlalu lugu bagi sebuah negara yang
telah menginjak usia 65 tahun ini. Bayangkan saja, dalam usia rata-rata batas
hidup rakyatnya,
Indonesia masih saja mempertanyakan hal itu. Masih meraba-raba. Masih berupaya. Karena faktanya, tak ada perubahan berarti yang terjadi pada bangsa ini sejak para founding fathers kita membacakan proklamasi.
Indonesia masih saja mempertanyakan hal itu. Masih meraba-raba. Masih berupaya. Karena faktanya, tak ada perubahan berarti yang terjadi pada bangsa ini sejak para founding fathers kita membacakan proklamasi.
“Orang
yang hanya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik disebut sebagai pekerja.
Orang yang hanya dapat mengajarkan sesuatu disebut sebagai guru. Orang yang
hanya dapat mengatur kita katakan sebagai manajer. Sedangkan pemimpin adalah
orang yang dapat menjadi ketiganya dengan baik secara bersamaan.”
Demikianlah
seorang kawan mengajarkan kepada saya mengenai sosok seorang pemimpin
seharusnya. Seorang pemimpin, sebagaimana yang dijelaskan dalam kata-kata
tersebut, harus melakukan tiga pekerjaan besar sekaligus agar mampu memberikan
pengaruh positif pada orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam
pribadi pemimpin-pemimpin Indonesia saat ini, apakah hal tersebut telah ada?
SBY, kita ambil sebagai contoh, mungkin saja Memiliki popularitas yang cukup
tinggi, sehingga ia dapat terpilih sebagai presiden selama dua periode
kepemimpinan. Tetapi, coba kita analisa sejenak kebijakan-kebijakannya dalam
perspektif tiga peran yang telah saya sebutkan tadi.
Mengenai perannya sebagai guru bagi rakyatnya.
Menjadi guru, dalam hal ini, bukan berarti ia harus masuk ke sekolah-sekolah
dan memberikan materi baik dengan metode ceramah atau metode-metode lainnya
yang telah berkembang, melainkan menunjukkan sikap, prilaku, kearifan, dan lain
sebagainya yang mampu menjadi contoh bagi rakyatnya.
SBY
belum mampu memberikan sebuah contoh sikap yang baik. Ia lambat dalam megambil
sebuah tindakan seperti dalam kasus mafia pajak maupun kerusuhan SARA, sehingga
mengakibatkan rakyat Indonesia telah kehilangan kepercayaan terhadap negaranya
sendiri. Ia juga seakan-akan memerankan diri sebagai dalang. Ia membiarkan orang-orangnya
beradu mulut tentang sebuah isu-isu hangat (yang bahkan seringkali terlihat
sengaja dimunculkan) dan cukup melihat bagaimana reaksi publik. Baru-baru ini,
di tengah banyaknya isu/kasus besar yang belum tuntas, muncul pernyataan dari
sekretaris kabinet, Dippo Alam, yang mengatakan keinginan untuk memboikot media
massa yang dianggap telah merusak image presiden. Sungguh lucu, bukan?
Di tengah banyaknya masalah yang dihadapi bangsa, SBY justru memikirkan imagenya
di mata publik! Wow! Lantas, pelajaran apa yang diambil oleh masyarakat dari
sikapnya ini?
SBY,
saya akui berhasil membangun sebuah image yang sangat baik di hati
masyarakat dengan berbagai kebijakan-kebijakan populer. Adanya program
sertifikasi guru yang membuat namanya dipuja-puja oleh para “pahlawan tanpa
tanda jasa” dan komitmen pemberantasan korupsi yang menurut hemat saya menjadi
popularitas terbesarnya sehingga kembali terpilih, tak lain hanyalah sekedar
keijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk mengambil hati rakyat semata. Pada
kenyataannya, kebijakan-kebijakan tersebut justru menciptakan sebuah
kontradiksi yang lambat laun diketahui publik. Sebutlah kasus Century gate
yang melibatkan “orang-orang SBY”, hingga kini belum terlihat penyelesaiannya.
Seakan-akan orang-orang itu tabu untuk disentuh oleh hukum.
Dalam
menjalankan peran sebagai pekerja yang baik, pemimpin-pemimpin di negeri ini
seharusnya tidak ragu untuk turun ke masyarakat dalam rangka melihat kenyataan
yang terjadi di negerinya. Para pemimpin tidak seharusnya mempercayai begitu
saja data-data yang mereka terima di atas kertas, yang seringkali dimanipulasi
untuk mendapatkan angka yang bagus sementara kenyataannya tidak demikian.
Mereka harus dengan rela menjalankan fungsi dan perannya tanpa pamrih apapun
(bukan berarti tidak digaji) selain melihat rakyatnya sejahtera. Maka, tidak
seharusnya pemimpin di negeri ini mengeluh mengenai gaji yang tidak kunjung
naik sementara rakyatnya bahkan belum tentu mampu mencukupi kebutuhan makannya
per hari.
Pemimpin
yang baik, dalam perannya sebagai manajer, seharusnya juga memikirkan bagaimana
menjaga keseimbangan pembangunan yang terjadi di Indonesia ini. Apalagi bila
mengingat bahwa wilayah negara ini sangatlah luas dengan topografi beragam. Ada
banyak wilayah yang bahkan belum tersentuh. Sudah 65 tahun Indonesia merdeka
tapi pembangunan di negeri ini terkesan hanya diperuntukkan bagi
saudara-saudara kita yang ada di Pulau Jawa saja. Pembangunan infrastruktur pendidikan
wilayah timur cenderung tertinggal namun pemerintah berpaling dari kenyataan
yang ada dengan menyetarakan system evaluasinya dalam bentuk UAN.
Mungkin terlalu banyak kata ‘seharusnya’ dalam
tulisan ini. Tapi paling tidak begitulah gagasan saya mengenai bagaimana
pemimpin Indonesia seharusnya. Tidak pamrih dalam bekerja, tidak menjadi sosok
yang palsu dalam menjadi panutan maupun guru bagi rakyatnya, serta tidak
timpang dalam mengelola wilayahnya. Dengan begitu, harapan saya bagi
terbentuknya Indonesia yang maju di segala hal mungkin akan dapat terwujud. Semoga.
0 comments:
Post a Comment