Sunday 26 June 2011

Bhineka Tunggal Ika: Antara Teori dan Fakta


Bhineka Tunggal Ika. Kalimat sakti ini telah diajarkan oleh Bapak Ibu guru kita semasa menduduki bangku SD. Banyak yang mengaku telah memahami arti sesungguhnya dari kalimat tersebut. Akan tetapi benarkah demikian? Sudahkah kalimat itu menjadi satu dengan darah dan daging kita sebagai seorang warga negara Indonesia?  Rasanya perlu bila kita meninjau ulang prilaku kita beberapa tahun belakangan ini.

Tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum masyarakat terhadap jamaah Ahmadiyah menjadi catatan tersendiri betapa Indonesia yang sejak dulu mensemboyani Bhineka Tunggal Ika pun masih terbata dalam memaknai keberagaman dan toleransi itu sendiri. Keberagaman masih dimaknai dalam perkataan saja. Bahwa setiap orang Papua yang berkulit hitam tetap adalah warga negara Indonesia, bahwa setiap pemeluk agama Kong Hu Chu juga adalah orang Indonesia, bahwa setiap mereka yang minoritas tetap adalah saudara sebangsa kita yang harus tetap dihormati dan berhak atas hak yang sama yang dirasakan oleh mayoritas. Akan tetapi, praktiknya masih sungguh jauh dari hal tersebut.
            Saya teringat pengalaman pribadi yang harus membawa saya kembali ke masa-masa SMA di Kota Sumbawa. Di kalangan remaja Sumbawa, remaja lain yang memiliki aksen Sasak (suku di pulau Lombok) masih sering menjadi bahan ejekan. Mengetahui bahwa seorang wanita atau pria merupakan seorang Suku Sasak saja sudah cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk tidak menjadikan ia sebagai pacar - yang bagi remaja sangat besar artinya. Namun tidak demikian halnya bila seorang remaja yang tinggal di Sumbawa memiliki aksen jawa yang sangat kental. Hal tersebut tidak akan dipandang aneh oleh yang lainnya melainkan justru diangggap keren karena merasa seperti bergaul dengan para artis yang sering muncul di TV.
Kondisi tersebut tentunya sudah bukan hal asing lagi di daerah manapun di luar Sumbawa. Yang mayoritas menganggap diri lebih baik dari mereka yang minoritas. Hal ini juga terlihat dari sikap anarkis yang kerap dilakukan ormas Front Pembela Islam (FPI) ketika menjelang dan selama bulan Ramadhan. FPI dengan angkuhnya merazia tempat-tempat karaoke, klub-klub malam, dan warung-warung yang berjualan di siang hari. Orang-orang Islam yang tidak berpuasa pun dengan serta-merta diadili melalui pengadilannya sendiri yakni pemukulan langsung di tempat.
Mayoritas pada umumnya akan menganggap bahwa minoritas itu salah. Menjadi berbeda seringkali tak direstui. Kebenaran seakan-akan hanya menjadi milik salah satu golongan saja. Islam misalnya, ditafsirkan berbeda oleh beberapa ormas. Dan parahnya masing-masing ormas tersebut merasa dirinyalah yang paling benar. Padahal, sepeninggal baginda rasulullah SAW maka tidak boleh ada yang merasa telah menafsirkan Islam dengan paling benar. Disinilah dibutuhkan kedewasaan berpikir dan toleransi akan keberagaman itu diperlukan.
Mengenang tahun-tahun sebelumnya dimana Soekarno masih berkuasa, perbedaan-perbedaan semacam itu sangat jarang – jika tidak ingin disebut tidak ada – ditemukan. Jurang-jurang pemisah bisa dikatakan baru muncul atau sengaja dimunculkan ketika Soeharto memegang tampu kepemimpinan di republik ini. Menteri Agama Alamsyah menerbitkan Peraturan Menteri yang melarang tenaga agama dari luar negeri. Izin untuk hal tersebut dan juga bantuan untuk agama diperketat. Sasarannya saat itu jelas, yaitu non-muslim. Kemudian istilah SARA yang saat itu disuarakan laksamana Sudomo yang terus-menerus didengungkan sehingga kecurigaan-kecurigaanpun bermunculan ( Gustav Dupe dalam Meretas Wacana Pluralisme hal. 86).
Tak heran bila saat ini ketika mendengar seseorang menyebut nama suku atau agama secara bercanda, maka hal tersebut akan dicurigai sebagai tindakan menghina. Sebuah tindakan yang patut dibalas dengan kebencian dan hinaan pula. Bahkan tulisan nnipun bisa dicurigai sebagai hal yang mengandung Unsur SARA mengingat adanya penyebutan nama suku sebelumnya. Demikian betapa kecurigaan-kecurigaan itu telah terbangun secara struktural hingga akhirnya mengakar kuat di bangsa ini.
Peran negara
            Bila kecurigaan-kecurigaan ataupun pengklaiman kebenaran itu muncul di antara kita sebagai warga negara rasanya akan sulit bila ingin menengahi diri sendiri. Karena itu, negara sudah semestinya menjadi payung pelindung bagi semuanya. Bukan untuk mayoritas saja, akan tetapi juga bagi minoritas yang mungkin merasa telah tersisihkan oleh bangsa sendiri.
Negara sudah semestinya menempatkan diri sebagai wasit yang berada di tengah-tengah. Ketika FPI melakukan razia dengan tindakan yang anarkis maka polisi sebagai aparatur negara harus menindaklanjutinya. Polisi tidak perlu takut dicap sebagai anti terhadap agama mayoritas karena perlu diingat bahwa Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara hukum dimana aturan hukumlah  yang harus ditegakkan, apapun resikonya.
            Hal tersebutlah yang masih belum dapat kita lihat di negeri ini. Aturan hukum negara seringkali bias dengan aturan agama Islam yang menjadi mayoritas. Tindakan anarkis FPI seringkali dibiarkan sehingga menjadi tradisi tiap tahun. Penanganan pelaku kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah terkesan lambat dan tunduk pada ormas-ormas Islam tertentu tanpa mempedulikan aturan hukum yang ada.
Hal itu baru yang berkaitan dengan mayoritas di bidang agama saja. Belum lagi bila kita menyaksikan tindakan negara pada masyarakat adat terkait wilayah adat yang tanahnya seringkali dicaplok pemerintah demi beberapa proyek yang mengatas-namakan kepentingan bersama. Masyarakat adat yang cenderung jauh dari modernitas seringkali tidak didengarkan suaranya bahkan cenderung tersisihkan dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
            Indonesia saat ini, paling tidak harus kembali pada semangat ke-bhineka-an sebagaimana masa dulu di bawah kepemimpinan Soekarno. Dengan adanya semangat tersebut, maka seluruh rakyat Indonesia barulah bisa memikirkan untuk bergerak bersama mencapai kemajuan bangsa. Perjuangan rakyat Aceh bukan hanya menjadi perjuangan Aceh semata, keberhasilan masyarakat jawa bukan hanya menjadi keberhasilan mereka saja tapi seluruh rakyat Indonesia. Karena seyogyanya, kebersamaan bukan hanya baru bisa kita perlihatkan saat Tsunami menghantam atau saat gempa mengguncang melainkan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. So hard but trust me that it worthy.

(Tulisan ini dijadikan syarat untuk mengikuti pelatihan Meliput Keberagaman yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman, SEJUK)

0 comments: