Bhineka
Tunggal Ika. Kalimat sakti ini telah diajarkan oleh Bapak Ibu guru kita semasa
menduduki bangku SD. Banyak yang mengaku telah memahami arti sesungguhnya dari
kalimat tersebut. Akan tetapi benarkah demikian? Sudahkah kalimat itu menjadi
satu dengan darah dan daging kita sebagai seorang warga negara Indonesia? Rasanya perlu bila kita meninjau ulang prilaku
kita beberapa tahun belakangan ini.
Tindakan
anarkis yang dilakukan oleh oknum masyarakat terhadap jamaah Ahmadiyah menjadi
catatan tersendiri betapa Indonesia yang sejak dulu mensemboyani Bhineka
Tunggal Ika pun masih terbata dalam memaknai keberagaman dan toleransi itu
sendiri. Keberagaman masih dimaknai dalam perkataan saja. Bahwa setiap orang
Papua yang berkulit hitam tetap adalah warga negara Indonesia, bahwa setiap
pemeluk agama Kong Hu Chu juga adalah orang Indonesia, bahwa setiap mereka yang
minoritas tetap adalah saudara sebangsa kita yang harus tetap dihormati dan
berhak atas hak yang sama yang dirasakan oleh mayoritas. Akan tetapi,
praktiknya masih sungguh jauh dari hal tersebut.
Saya teringat pengalaman pribadi yang harus membawa saya
kembali ke masa-masa SMA di Kota Sumbawa. Di kalangan remaja Sumbawa, remaja
lain yang memiliki aksen Sasak (suku di pulau Lombok) masih sering menjadi
bahan ejekan. Mengetahui bahwa seorang wanita atau pria merupakan seorang Suku
Sasak saja sudah cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk tidak menjadikan ia
sebagai pacar - yang bagi remaja sangat besar artinya. Namun tidak demikian
halnya bila seorang remaja yang tinggal di Sumbawa memiliki aksen jawa yang
sangat kental. Hal tersebut tidak akan dipandang aneh oleh yang lainnya
melainkan justru diangggap keren karena merasa seperti bergaul dengan para
artis yang sering muncul di TV.
Kondisi
tersebut tentunya sudah bukan hal asing lagi di daerah manapun di luar Sumbawa.
Yang mayoritas menganggap diri lebih baik dari mereka yang minoritas. Hal ini
juga terlihat dari sikap anarkis yang kerap dilakukan ormas Front Pembela Islam
(FPI) ketika menjelang dan selama bulan Ramadhan. FPI dengan angkuhnya merazia
tempat-tempat karaoke, klub-klub malam, dan warung-warung yang berjualan di
siang hari. Orang-orang Islam yang tidak berpuasa pun dengan serta-merta
diadili melalui pengadilannya sendiri yakni pemukulan langsung di tempat.
Mayoritas
pada umumnya akan menganggap bahwa minoritas itu salah. Menjadi berbeda
seringkali tak direstui. Kebenaran seakan-akan hanya menjadi milik salah satu
golongan saja. Islam misalnya, ditafsirkan berbeda oleh beberapa ormas. Dan
parahnya masing-masing ormas tersebut merasa dirinyalah yang paling benar.
Padahal, sepeninggal baginda rasulullah SAW maka tidak boleh ada yang merasa
telah menafsirkan Islam dengan paling benar. Disinilah dibutuhkan kedewasaan
berpikir dan toleransi akan keberagaman itu diperlukan.
Mengenang
tahun-tahun sebelumnya dimana Soekarno masih berkuasa, perbedaan-perbedaan
semacam itu sangat jarang – jika tidak ingin disebut tidak ada – ditemukan.
Jurang-jurang pemisah bisa dikatakan baru muncul atau sengaja dimunculkan
ketika Soeharto memegang tampu kepemimpinan di republik ini. Menteri Agama
Alamsyah menerbitkan Peraturan Menteri yang melarang tenaga agama dari luar
negeri. Izin untuk hal tersebut dan juga bantuan untuk agama diperketat.
Sasarannya saat itu jelas, yaitu non-muslim. Kemudian istilah SARA yang saat
itu disuarakan laksamana Sudomo yang terus-menerus didengungkan sehingga
kecurigaan-kecurigaanpun bermunculan ( Gustav Dupe dalam Meretas Wacana Pluralisme hal. 86).
Tak
heran bila saat ini ketika mendengar seseorang menyebut nama suku atau agama
secara bercanda, maka hal tersebut akan dicurigai sebagai tindakan menghina.
Sebuah tindakan yang patut dibalas dengan kebencian dan hinaan pula. Bahkan
tulisan nnipun bisa dicurigai sebagai hal yang mengandung Unsur SARA mengingat
adanya penyebutan nama suku sebelumnya. Demikian betapa kecurigaan-kecurigaan
itu telah terbangun secara struktural hingga akhirnya mengakar kuat di bangsa
ini.
Peran
negara
Bila kecurigaan-kecurigaan ataupun pengklaiman kebenaran
itu muncul di antara kita sebagai warga negara rasanya akan sulit bila ingin
menengahi diri sendiri. Karena itu, negara sudah semestinya menjadi payung
pelindung bagi semuanya. Bukan untuk mayoritas saja, akan tetapi juga bagi
minoritas yang mungkin merasa telah tersisihkan oleh bangsa sendiri.
Negara
sudah semestinya menempatkan diri sebagai wasit yang berada di tengah-tengah.
Ketika FPI melakukan razia dengan tindakan yang anarkis maka polisi sebagai
aparatur negara harus menindaklanjutinya. Polisi tidak perlu takut dicap
sebagai anti terhadap agama mayoritas karena perlu diingat bahwa Indonesia
bukanlah negara agama melainkan negara hukum dimana aturan hukumlah yang harus ditegakkan, apapun resikonya.
Hal tersebutlah yang masih belum dapat kita lihat di
negeri ini. Aturan hukum negara seringkali bias dengan aturan agama Islam yang
menjadi mayoritas. Tindakan anarkis FPI seringkali dibiarkan sehingga menjadi
tradisi tiap tahun. Penanganan pelaku kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah
terkesan lambat dan tunduk pada ormas-ormas Islam tertentu tanpa mempedulikan
aturan hukum yang ada.
Hal
itu baru yang berkaitan dengan mayoritas di bidang agama saja. Belum lagi bila
kita menyaksikan tindakan negara pada masyarakat adat terkait wilayah adat yang
tanahnya seringkali dicaplok pemerintah demi beberapa proyek yang
mengatas-namakan kepentingan bersama. Masyarakat adat yang cenderung jauh dari
modernitas seringkali tidak didengarkan suaranya bahkan cenderung tersisihkan
dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Indonesia saat ini, paling tidak harus kembali pada
semangat ke-bhineka-an sebagaimana
masa dulu di bawah kepemimpinan Soekarno. Dengan adanya semangat tersebut, maka
seluruh rakyat Indonesia barulah bisa memikirkan untuk bergerak bersama
mencapai kemajuan bangsa. Perjuangan rakyat Aceh bukan hanya menjadi perjuangan
Aceh semata, keberhasilan masyarakat jawa bukan hanya menjadi keberhasilan
mereka saja tapi seluruh rakyat Indonesia. Karena seyogyanya, kebersamaan bukan
hanya baru bisa kita perlihatkan saat Tsunami menghantam atau saat gempa mengguncang
melainkan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. So hard but trust me that it worthy.
(Tulisan ini dijadikan syarat untuk mengikuti pelatihan Meliput Keberagaman yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman, SEJUK)
(Tulisan ini dijadikan syarat untuk mengikuti pelatihan Meliput Keberagaman yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman, SEJUK)
0 comments:
Post a Comment