Sunday 15 May 2016

[Book] Klub Film, David Gilmour



Aku selalu bilang bukan, aku lebih mengagumi Eka Kuniawan sebagai pembaca ketimbang dirinya sebgai penulis. Menurutku dia tidak akan keberatan dengan itu. Toh dia juga lebih ingin “membesarkan” dirinya sebagai pembaca daripada sebagai penulis. Maka, rekomendasinya untuk membaca buku ini pun aku turuti.

Klub Film, sebuah memoar milik David Gilmour. Ia menceritakan pengalaman membesarkan anak laki-lakinya yang pada usia 15 tahun ia ketahui tidak punya minat apapun pada lembaga yang disebut sekolah. Keputusan besar harus ia ambil ketika menanyakan kepada anaknya apakah ia sudah tidak ingin bersekolah lagi. Ia memberikan waktu (memaksa anaknya) untuk memikirkan jawabannya matang-matang. Tiga hari. Meskipun tentu saja 1 detik saja sudah cukup bagi anaknya untuk membuat ia berkata “Ya” bahwa dirinya sudah tidak ingin bersekolah lagi.

Sebagai gantinya, si anak harus menuruti si ayah. Bahwa mereka akan menonton tiga film dalam seminggu dan tidak boleh ada “obat-obatan” yang terlibat selama itu. Maka dimulailah Klub Film mereka. Tiga film dalam seminggu, si ayah yang memang adalah kritikus film memilihkan judul-judul film untuk dintonton anaknya. Bukan perkara mudah, tentu saja.

“Memilih film bagi orang lain adalah urusan serius. Seperti halnya menulis surat untuk seseorang hal itu bisa mengungkap jati diri kita. Hal itu menunjukkan pola pikir kita, menunjukkan apa yang menggugah perasaan kita, bahkan terkadang hal itu bisa menunjukkan pendapat kita tentang bagaimana cara dunia memandang kita.”

Dalam klub film itu, keduanya menonton kemudian berdiskusi setelahnya atau sekedar membahas apa saja. Seiring betambahnya ketakutan si ayah bahwa ia sendiri lah yang menjerumuskan anaknya pada “jurang” yang mungkin tidak dapat dinaiki, mengantarkan sendiri anaknya ke masa depan yang suram, pemahaman si anak akan film (juga kedewasaannya berpikir?) justru berkembang.

(Pada bagian ini, aku diingatkan pada Pengajian Sastra Senin Sore yang dulu kuikuti bersama beberapa kawan. Membaca buku, dan mendiskusikannya. Membaca tulisan teman sendiri dan mendiskusikannya. Pada akhirnya kita tidak sadar seberapa banyak kita sudah belajar. Kita bisa belajar dari apapun, bukan?)

Jika kalian sepertiku yang juga menyukai film, maka sepanjang buku ini kita akan menemukan judul-judul film keren (paling tidak menurut standar Gilmour). Aku selalu menuliskannya di catatanku ketika- berdasarkan pembahasan Gilmour- judul film tersebut kuanggap menarik. Maka menyebalkan sekali ketika di akhir buku, aku melihat ada daftar judul film yang disebutkan di buku ini. Pfft, harusnya aku tidak usah repot-repot mencatat. -_-

Sepanjang buku ini pula, aku dapat merasakan betapa besar Gilmour mencintai keluarganya. Ayolah, siapa yang bisa menceritakan keluarga mereka sedemikian rupa kalau tidak benar-benar mencintainya? Dan meskipun belum “berkeluarga”, aku memahami bagaimana rapuhnya hubungan orangtua-anak yang dapat runtuh hanya karena pemilihan satu saja kata yang salah ketika berbicara.

Sebagai penutup, seperti kata Eka, buku ini bukan hendak meminta para orangtua untuk menarik anak mereka dari sekolah. Sebab toh pada akhirnya Jesse, si anak, memutuskan untuk kembali bersekolah lagi. Buku ini kurasa juga bukan ingin bergagah-ria menunjukkan keberhasilannya mendidik si anak. Karena toh ia begitu dipenuhi ketakutan dan mungkin bila harus melakukannya lagi pada anaknya yang lain, belum tentu ia tidak dihinggapi lagi dengan ketakutan yang sama. Buku ini, bagaimana mengatakannya ya, sebuah memoar yang, jujur? (bukankah semua memoar sudah seharusnya begitu?) ah, entahlah. Buku ini yang jelas recommended untuk dibaca. Mari Baca :D

David Gilmour dan Jesse anaknya

Judul-Judul Film  pada buku ini kalau-kalau kalian ingin menontonnya:






*****

0 comments: