Aku selalu bilang bukan, aku lebih
mengagumi Eka Kuniawan sebagai pembaca ketimbang dirinya sebgai penulis. Menurutku
dia tidak akan keberatan dengan itu. Toh dia juga lebih ingin “membesarkan”
dirinya sebagai pembaca daripada sebagai penulis. Maka, rekomendasinya untuk
membaca buku ini pun aku turuti.
Klub Film, sebuah memoar milik
David Gilmour. Ia menceritakan pengalaman membesarkan anak laki-lakinya yang
pada usia 15 tahun ia ketahui tidak punya minat apapun pada lembaga yang
disebut sekolah. Keputusan besar harus ia ambil ketika menanyakan kepada
anaknya apakah ia sudah tidak ingin bersekolah lagi. Ia memberikan waktu
(memaksa anaknya) untuk memikirkan jawabannya matang-matang. Tiga hari. Meskipun
tentu saja 1 detik saja sudah cukup bagi anaknya untuk membuat ia berkata “Ya”
bahwa dirinya sudah tidak ingin bersekolah lagi.
Sebagai gantinya, si anak harus
menuruti si ayah. Bahwa mereka akan menonton tiga film dalam seminggu dan tidak
boleh ada “obat-obatan” yang terlibat selama itu. Maka dimulailah Klub Film
mereka. Tiga film dalam seminggu, si ayah yang memang adalah kritikus film
memilihkan judul-judul film untuk dintonton anaknya. Bukan perkara mudah, tentu saja.
“Memilih film bagi orang lain adalah urusan serius. Seperti halnya
menulis surat untuk seseorang hal itu bisa mengungkap jati diri kita. Hal itu
menunjukkan pola pikir kita, menunjukkan apa yang menggugah perasaan kita,
bahkan terkadang hal itu bisa menunjukkan pendapat kita tentang bagaimana cara
dunia memandang kita.”
Dalam klub film itu, keduanya
menonton kemudian berdiskusi setelahnya atau sekedar membahas apa saja. Seiring
betambahnya ketakutan si ayah bahwa ia sendiri lah yang menjerumuskan anaknya
pada “jurang” yang mungkin tidak dapat dinaiki, mengantarkan sendiri anaknya
ke masa depan yang suram, pemahaman si anak akan film (juga kedewasaannya
berpikir?) justru berkembang.
(Pada bagian ini, aku diingatkan
pada Pengajian Sastra Senin Sore yang dulu kuikuti bersama beberapa kawan. Membaca
buku, dan mendiskusikannya. Membaca tulisan teman sendiri dan mendiskusikannya.
Pada akhirnya kita tidak sadar seberapa banyak kita sudah belajar. Kita bisa
belajar dari apapun, bukan?)
Jika kalian sepertiku yang juga
menyukai film, maka sepanjang buku ini kita akan menemukan judul-judul film
keren (paling tidak menurut standar Gilmour). Aku selalu menuliskannya di
catatanku ketika- berdasarkan pembahasan Gilmour- judul film tersebut kuanggap menarik. Maka menyebalkan sekali ketika di akhir buku, aku melihat ada daftar
judul film yang disebutkan di buku ini. Pfft, harusnya aku tidak usah
repot-repot mencatat. -_-
Sepanjang buku ini pula, aku
dapat merasakan betapa besar Gilmour mencintai keluarganya. Ayolah, siapa yang
bisa menceritakan keluarga mereka sedemikian rupa kalau tidak benar-benar
mencintainya? Dan meskipun belum “berkeluarga”, aku memahami bagaimana rapuhnya
hubungan orangtua-anak yang dapat runtuh hanya karena pemilihan satu saja kata
yang salah ketika berbicara.
Sebagai penutup, seperti kata
Eka, buku ini bukan hendak meminta para orangtua untuk menarik anak mereka dari
sekolah. Sebab toh pada akhirnya Jesse, si anak, memutuskan untuk kembali
bersekolah lagi. Buku ini kurasa juga bukan ingin bergagah-ria menunjukkan
keberhasilannya mendidik si anak. Karena toh ia begitu dipenuhi ketakutan dan
mungkin bila harus melakukannya lagi pada anaknya yang lain, belum tentu ia
tidak dihinggapi lagi dengan ketakutan yang sama. Buku ini, bagaimana
mengatakannya ya, sebuah memoar yang, jujur? (bukankah semua memoar sudah
seharusnya begitu?) ah, entahlah. Buku ini yang jelas recommended untuk dibaca. Mari Baca :D
David Gilmour dan Jesse anaknya |
Judul-Judul Film pada buku ini kalau-kalau kalian ingin menontonnya:
0 comments:
Post a Comment