Gambar: wikipedia.com |
Kembali ke negaranya untuk menjenguk sang ibu yang terkena stroke, ia justru dipertontonkan dengan kondisi yang sangat kacau. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Penembakan massa pengunjuk-rasa oleh militer dilakukan secara terang-terangan.
Kepulangan Aung
San Suu Kyi ini membuat resah Jenderal
Ne Min yang menjadi pemimpin saat itu.
Setiap gerak-geriknya diawasi. Sang Jenderal yang mempercayai hal-hal klenik
akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pemilu setelah mendapatkan nasihat
spiritual untuk menggunakan cara “lembut” dalam menghadapi (yang dianggap)
lawannya. Pemilu pertama setelah 40 tahun kekuasaan Junta Militer.
Melihat peluang
untuk membentuk negara yang demokratis melalui pemilu, tokoh-tokoh masyarakat
dan para intelektual mulai mendekati Suu untuk mengambil peran sebagai pemimpin
mereka. Semenjak menerima peran tersebut, kehidupan Suu pun tidak pernah sama
lagi. Berbagai cara dilakukan Suu untuk mencapai kemenangannya, pun berbagai
cara juga dilakukan oleh Sang Jenderal untuk menghalanginya. Semua itu terjadi
dengan mengorbankan banyak nyawa dan berlangsung di bawah sorotan dunia
internasional.
Suu akhirnya
berhasil memenangkan pemilu dengan perbedaan suara yang sangat telak. Namun toh tidak membuat Junta Militer berbesar
hati mengakui kekalahan mereka. Meski dengan kemenangannya, Suu masih tetap
menjalani tahanan rumah dan kekerasan terus terjadi terhadap masyarakat Myanmar
yang mendukung demokrasi. Lima belas tahun Suu menjadi tahanan rumah. Ia bahkan
harus menerima bahwa ia tidak mampu mendampingi saat-saat terakhir hidup
suaminya yang terserang kanker.
Film yang
berdurasi cukup panjang ini (2 jam 12 menit), dengan elok menggambarkan
kesetiaan keluarga yang saling mendukung satu sama lain bahkan dalam keadaan
terberat sekalipun. Kondisi mencekam sebuah negara di bawah pemerintahan rezim
tersampaikan dengan sangat jelas kepada penonton. Dengan demikian, keberanian
seorang wanita dalam upaya “menerobos” kondisi tersebut menjadi terlihat sangat
berani (sebagaimana aslinya memang seperti itu).
Dari film ini
pula kita dapat melihat pilihan politik Suu Kyi yang menggunakan cara damai.
Melawan todongan senjata hanya dengan aura dan tatapan mata. Pilihan itu secara
konsisten ia lakukan sambil melakukan pendekatan-pendekatan politis. “Kita
tidak perlu memikirkan politik, politiklah yang akan memikirkan kita,” demikian
sebagaimana ajaran sang ayah kepadanya.
Tapi diantara kesemuanya, bagi saya yang paling
mengagumkan dari film ini adalah bagaimana Michele Yeoh memerankan tokoh Suu
Kyi. Ia seakan-akan dirasuki oleh tokoh tersebut sehingga ia terlihat begitu
mendalami peran yang dimainkannya. Dan, tentu saja, tokoh sang suami pun
berhasil diperankan dengan memesona oleh David Thewlis. Melihat keduanya
disandingkan dalam film ini dengan chemistry yang sangat kuat, siapa yang tak
mau menjadi pasangan seperti mereka? J
0 comments:
Post a Comment